15 - The Wedding Preparation

95 12 0
                                    

15 – The Wedding Preparation

"Why did you do that?" tuntut Remia pada Shane yang berdiri di depan meja kerjanya.

"Aku tidak punya pilihan lain," jawab Shane.

Remia yang duduk di kursi kerjanya, memijit pangkal hidungnya dengan mata terpejam.

"Ini sama sekali tidak sepertimu, Shane," keluh Remia.

"Hari ketika Elaine mendapat bunga dari Reed," sebut Shane tiba-tiba.

Apa yang anak itu katakan? Remia menurunkan tangan dan menatap Shane, menunggu.

"Hari itu, kamu yang tadinya tak sedikit pun menyetujui pernikahan Elaine dan Reed, mulai menyiapkan pernikahan mereka," lanjut Shane.

Remia mengernyit.

"Aku tahu, kamu melakukan itu karena kamu tak ingin mengecewakan Elaine ketika Reed bahkan bisa membuatnya tersenyum seperti itu," ungkap Shane. "Karena aku juga begitu, Kak."

Remia mendengus tak percaya. Ia mengempaskan tubuh ke sandaran kursinya dan mengibaskan tangan. "Kamu bisa pergi," ucapnya pada Shane.

Jika Shane memberi alasan seperti itu, Remia tak bisa mendebatnya. Ia yang salah perhitungan. Baik itu dirinya maupun kelima adiknya yang lain. Tidak hanya Shane. Bahkan Jerome pun tidak akan sanggup menolak jika Elaine sudah meminta.

Reed Barraga. Jika dia benar-benar mendapatkan hati Elaine, maka dia memiliki keluarga Darwin di tangannya. Itulah kesimpulannya.

Namun, Remia tidak bodoh. Elaine tidak jatuh cinta. Setidaknya, belum. Dan sebelum adik bungsunya itu benar-benar jatuh cinta pada Reed, Remia harus melakukan sesuatu. Entah itu membuat Elaine bosan pada Reed, atau membenci pria itu sepenuhnya.

Well, Remia bisa memikirkan itu setelah Elaine dan Reed menikah nanti. Ia masih punya banyak kesempatan untuk mmbuat Elaine berbalik dari Reed sepenuhnya. Pernikahan mereka nanti hanyalah awalnya. Dan hanya untuk alasan itulah Remia memberi kesempatan untuk pernikahan mereka.

***

Setelah acara makan malamnya dengan keluarga Darwin semalam, meski Remia tak mengatakan apa pun tentang apakah dia mengizinkan Reed dan Elaine menikah, tapi pagi itu, kabar pernikahan Reed dan Elaine sudah tersebar di seluruh media.

Remia benar-benar tak bisa ditebak. Baru semalam sepertinya dia siap melemparkan pisau ke leher Reed, tapi pagi ini dia sudah mengumumkan pernikahan Reed dan Elaine. Namun, Reed tak bisa lantas bersantai begitu saja. Ini Remia yang dia hadapi. Dia tak tahu apa lagi yang direncanakan wanita itu dengan pernikahan Reed dan Elaine.

Meski begitu, sepertinya pagi ini Reed harus membatalkan semua jadwalnya dan pergi ke rumah Elaine. Ini juga adalah cara Remia memanggil Reed tanpa harus menghubungi Reed langsung.

Reed juga tak sabar ingin melihat reaksi Elaine. Ia bisa saja menghubungi Elaine, tapi ia ingin melihat langsung. Setelah apa yang terjadi di acara makan malam kemarin, Reed masih sedikit khawatir jika Elaine menyalahkan dirinya. Ia harap, dengan kabar ini, gadis itu akan merasa lebih baik.

Ah! Reed tidak bisa pergi seperti ini untuk bertemu Elaine. Ia memanggil Van lewat interkom dan memintanya datang ke ruangan Reed.

***

"Reed!" sambut Elaine melewati head butler rumahnya ketika Reed tiba di depan pintu rumahnya. Elaine menghambur memeluk pria itu saking senangnya melihat pria iu.

Sebenarnya, terlepas dari Reed yang mengatakan jika ini adalah kemenangan mereka, tapi Remia tak mengatakan apa pun semalam. Dan Elaine tak bisa tidur nyenyak karenanya. Namun pagi ini, kekhawatirannya terbukti sia-sia. Kemunculan Reed di sini adalah buktinya.

Elaine sudah akan melepaskan pelukannya, tapi ia merasakan Reed malah balas memeluknya. Elaine mengerutkan kening. Ada apa?

Ah ... apakah kakak-kakak Elaine melihat mereka? Namun, Reed tak mengatakan apa pun padanya.

"Tidakkah tubuhmu terlalu kecil? Kamu harus makan lebih banyak," komentar Reed, masih memeluk Elaine.

"Um ... apa kamu memelukku untuk diam-diam mengukur tubuhku?" balas Elaine.

Reed tak menjawab, tapi ia melepaskan pelukannya. Lalu, dia mengulurkan tangan ke samping dan dua buket bunga berpindah ke tangannya. Satu buket bunga, satu buket boneka yang membawa cokelat.

Elaine tersenyum lebar dan merengkuh dua buket itu dalam pelukannya. Ia mendongak untuk menatap Reed dan berkata, "Terima kasih, Reed."

"Nona Elaine, Tuan Reed, Nona Remia sudah menunggu di ruang tamu," Hermann mengumumkan.

"Oh, di ruang tamu?" Elaine menoleh ke belakang. Ia pikir kakak-kakaknya ada di belakangnya, tapi ternyata tidak ada siapa pun di sana selain head butler-nya.

"Tuan Jerome dan yang lain juga sudah ada di sana, Nona," imbuh head butler-nya.

"Baiklah," jawab Elaine. Dengan satu tangan memeluk dua buket dari Reed dan tangannya yang lain menggandeng tangan Reed, Elaine menarik Reed masuk ke rumahnya.

Namun, di depan pintu ruang tamu rumahnya, Elaine berhenti dan menarik napas dalam. Lalu, ia merasakan tangan Reed yang tadi digenggamnya balik menggenggam tangan Elaine. Elaine menoleh pada pria itu.

"Jangan khawatir dan jangan takut," Reed berkata. "Aku ada di sampingmu."

Elaine tersenyum mendengar itu. "Okay."

***

Reed bisa merasakan tatapan tajam dari keenam kakak Elaine begitu ia masuk ke ruang tamu rumah itu dengan tangan Elaine di genggaman tangannya. Reed harus membiasakan diri dengan semua itu. Karena bahkan setelah ia dan Elaine menikah pun, ia yakin reaksi keenam kakak Elaine padanya tidak akan berubah.

Begitu Reed dan Elaine duduk, Remia langsung bicara,

"Kapan kalian ingin menikah?"

Kapan? Kenapa dia menanyakan hal seperti itu sebegitu percaya dirinya alih-alih menentukan tanggal untuk mereka? Seolah ... dia bahkan siap jika Reed dan Elaine menjawab besok.

Sementara, Elaine kemudian menoleh pada Reed. Mereka sama sekali belum mendiskusikan ini. Siapa sangka, Remia akan semudah ini membicarakan tentang pernikahan mereka ketika sebulan lalu, dia bahkan begitu yakin jika Reed tidak akan menang melawannya dan tidak akan bisa menikahi Elaine.

"Aku dan Elaine masih belum menentukan tanggal pastinya, tapi kami ingin secepatnya," Reed menjawab.

Davon bahkan tak berusaha menyembunyikan geraman marahnya. Decakan tak puas terdengar dari beberapa orang. Namun, semua itu teralihkan pada pertanyaan Elaine kemudian,

"Apa aku dan Reed ... benar-benar akan menikah?"

Reed terkejut mendengar pertanyaan itu. Tidak hanya Reed, tapi juga kakak-kakak Elaine. Bahkan Remia.

"Kamu tidak berpikir aku tidak akan menepati janjiku, kan?" Remia akhirnya menanggapi.

"Tidak, bukan itu ..." Elaine menepis. "Hanya saja ... aku masih tak percaya, aku dan Reed benar-benar akan menikah. Aku bahkan tak pernah membayangkan diriku dalam situasi ini." Elaine terkekeh.

Reed diam-diam memperhatikan ekspresi keenam kakak Elaine. Ya, bukan hanya Elaine, tapi mereka juga tidak akan pernah membayangkan situasi ini. Situasi di mana mereka harus melepaskan adik bungsu yang selama ini mereka kurung di sangkar emas ini akan tampak begitu bahagia untuk terbang keluar dari sini.

Sungguh ironis. Reed tak pernah merasakan bagaimana rasanya dicintai keluarganya. Karena itu, ia juga tak akan pernah tahu, bagaimana rasanya mendapatkan cinta sebanyak itu hingga ingin kabur seperti Elaine. Ia ... tidak akan pernah tahu. Pun, tak akan pernah mengerti.

***

Our Contract MarriageWhere stories live. Discover now