8 - A Proper One

101 15 0
                                    

8 – A Proper One

Setelah makan siang, mereka kembali membicarakan tentang kesepakatan dalam kontrak pernikahan mereka. Kali ini, dengan asisten Reed yang mencatat kontrak mereka.

"Aku yang akan mengurus kontraknya karena itu akan lebih aman untuk kita berdua," Reed berkata.

Elaine mengangguk setuju. Tidak ada tempat aman untuk menyembunyikan kontrak atau apa pun di rumah keluarganya. Dan jika sampai kakak-kakaknya tahu tentang kontrak ini, mereka pasti akan langsung membakarnya.

"Aku akan mengusahakan kita bisa bertemu sesering mungkin, tapi sepertinya itu pun akan sulit. Kuusahakan kita bisa bertemu setidaknya seminggu sekali," Reed berkata.

"Baiklah," jawab Elaine. "Aku mengerti kamu pasti sangat sibuk."

"Itu ... karena aku harus berperang melawan kakak sulungmu," ungkap Reed.

Ah, benar juga. Remia menantang Reed selama satu bulan.

"Maaf ..."

"Kamu tidak perlu meminta maaf," tepis Reed. "Itu adalah hal yang biasa untukku."

"Tapi ..."

"Aku justru harus berterima kasih pada kakak sulungmu," tambah Reed.

Elaine mengerutkan kening. "Untuk apa?"

"Karena dalam sebulan, dia akan menyiapkan pernikahan kita untuk kita. Dan aku tak perlu meragukan kemampuannya untuk itu." Reed tersenyum kecil, tampak puas. "Dengan bantuan kakak sulungmu itu, kamu bisa menantikan pesta pernikahan yang megah dan sempurna."

"Ah ..." Meski, Elaine sama sekali tak mengharapkan atau memikirkan itu. Ia hanya khawatir akan bagaimana Reed akan menghadapi Remia.

"Dengan ini, kita setidaknya sudah membereskan satu hal. Karena Remia sudah menyiapkan pesta pernikahan kita, aku bisa fokus dengan pekerjaanku dan kamu bisa fokus memikirkan apa saja yang ingin kamu lakukan atau ke mana saja kamu ingin pergi setelah kita menikah."

Elaine mengerjap. Bagaimana pria itu masih memikrkan Elaine ketika dia harus menghadapi Remia selama sebulan ini?

"Apa aku ... bisa menghubungimu?" tanya Elaine.

Reed mengangguk. "Aku akan memastikan aku menghubungimu setidaknya sehari sekali," Reed berkata. "Karena kita mengakui hubungan kita berdasar cinta, jadi kita harus bertindak seperti pasangan yang jatuh cinta, kan?"

"Kamu benar," jawab Elaine. "Aku akan memastikan kakak-kakakku tidak akan lagi meragukan jika aku jatuh cinta padamu." Elaine tersenyum.

"Dan bagaimana kamu akan melakukan itu?" tanya Reed. "Kamu sendiri yang berkata jika kamu tidak akan jatuh cinta padaku."

"Ah, kamu tidak perlu khawatir," Elaine menenangkan Reed. "Meski aku tidak jatuh cinta padamu, tapi aku tahu bagaimana cara mencintai seseorang. Karena aku tumbuh besar dengan menerima dan memberi banyak cinta dari keluargaku."

Reed mendengus pelan. "Well, aku menyerahkan itu padamu. Kamu bisa berpura-pura mencintaiku dengan caramu sendiri. Dan aku juga akan menemukan caraku sendiri."

"Bagaimana kamu akan melakukan itu?" Elaine balik bertanya, murni karena penasaran.

"Mencari informasi sebanyak mungkin tentang itu, mungkin," sahut Reed. "Van yang akan mengurus itu. Dia adalah asisten yang selalu mengurus hal-hal seperti itu untukku."

"Ah, apa itu berarti, dia juga yang menyiapkan restoran ini untuk kita?" Mata Elaine berbinar ketika menoleh pada asisten Reed yang berdiri agak di belakang Reed.

Reed tampak membuka mulut untuk bicara, tapi dia menutup mulutnya lagi dan hanya mengangguk.

"Ini benar-benar tempat yang menakjubkan," Elaine berkata pada asisten Reed.

Asisten Reed itu tampak menatap Reed selama beberapa saat, sebelum dia mengangguk dan menjawab, "Terima kasih, Nona."

"Baiklah, untuk saat ini, kita sudah membereskan apa yang terpenting," Reed berkata. "Setelah ini, aku akan mengantarmu pulang."

"Apa ada lagi yang harus kita lakukan?" tanya Elaine.

Reed memberi isyarat pada staf restoran dengan gerakan tangannya. Tak lama, datang lagi satu troli makanan ke meja mereka. Namun, betapa terkejutnya Elaine ketika mendapati semua makanan yang tersaji kemudian adalah semangkuk es krim yang bertumpuk.

"Wow ..." Elaine tak bisa menahan reaksinya.

"Kuharap kamu menyukainya," Reed berkata.

"Pasti!" sahut Elaine cepat. "Aku tak menyangka kamu akan mengingat apa yang kukatakan tentang makanan kesukaanku."

"Aku mengingat semuanya," Reed berkata. "Kurasa, itu hal minimal untuk dilakukan dalam kesepakatan kita."

Elaine tersenyum lebar. "Kamu benar. Kalau begitu, aku juga akan mengingat semua yang kamu suka dan tidak kamu suka mulai sekarang."

Reed berdehem. "Kamu tidak perlu sampai mengingatnya. Aku tidak punya banyak hal yang kusuka atau tidak kusuka."

"Aku kurang lebih tahu apa yang kamu tidak suka," cetus Elaine. "Kamu tidak suka wanita, cinta, anak-anak, keluarga. Lalu, apa yang kamu suka?"

Reed menatap Elaine selama beberapa saat sebelum menjawab, "Entahlah. Aku belum pernah benar-benar memikirkan itu."

Elaine mengerjap. Apa itu berarti ... selama ini pria itu benar-benar tak memiliki hal yang ia sukai?

"Kalau begitu, untuk sementara, bagaimana jika kamu berbagi kesukaan denganku?" Elaine menawari. "Sampai kamu menemukan apa yang benar-benar kamu sukai, kamu bisa menyukai hal-hal yang kusukai bersamaku. Dan aku yakin, ke depan akan semakin banyak hal yang kusukai karena akan semakin banyak hal yang bisa kulakukan setelah menikah denganmu nanti." Elaine tersenyum lebar membayangkan hari itu nanti.

Reed mendengus pelan dan samar Elaine melihat sudut bibir pria itu naik. Ia lantas menjawab, "Baiklah. Kita bisa melakukannya seperti itu. Karena mungkin akan aneh jika kamu yang jatuh cinta padaku tidak tahu apa yang kusukai."

Elaine mengangguk setuju.

"Ah, dan satu lagi." Reed tiba-tiba berdiri. Lalu, setiba-tiba ia berdiri, ia berlutut di samping kursi Elaine.

Elaine mengerjap bingung. "Reed, kamu kenapa ...?"

Kalimat Elaine terhenti tatkala ia melihat pria itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak kecil yang ketika dibukanya menampakkan sebuah cincin berlian.

"I think I should give you a proper one," ucap pria itu. "A proposal, I mean."

"Ah ..." Elaine tersenyum kecil. Ia ingat bagaimana ia sempat menawari untuk berlutut pada pria itu ketika ia memberikan penawarannya. Pun, ketika pria itu tiba-tiba berlutut di depannya di malam pesta itu.

"I didn't expect it, tapi terima kasih," Elaine berkata. "Kakakku juga pasti akan mendengar apa yang terjadi di sini dan itu akan sangat membantuku ketika aku pulang nanti."

"Glad to hear that," balas Reed sembari mengulurkan tangan.

Elaine menerima uluran tangan pria itu dan membiarkannya menyematkan cincin berlian itu di jarinya.

"Meski aku tidak bisa selalu ada di sampingmu sampai kita resmi menikah, tapi aku akan melakukan semaksimal mungkin untuk membantumu," ucap Reed kemudian.

Elaine tak tahu apa maksud pria itu, tapi ia hanya tersenyum. Hanya mendengar itu saja, entah kenapa, membuat Elaine merasa lebih relaks untuk menghadapi kakak-kakaknya nanti.

***

Our Contract MarriageDär berättelser lever. Upptäck nu