4. Bergelut Rindu

7 1 0
                                    

———

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

———

“Lu yakin mau nitipin Wangsa ke gua?” tanya Davin seraya membawa dua gelas kopi instan, satu untuk Gavan yang tiba-tiba datang bertamu ke rumahnya tanpa undangan, Davin lalu ikut duduk di sampingnya.

Gavan sedari tadi hanya diam, pria itu sedang menimang-nimang keyakinannya untuk benar-benar menitipkan Wangsa pada kakaknya itu.

Gavan sendiri sebenarnya enggan, karena ia tahu, Davin juga sibuk dengan pekerjaannya yang tidak bisa ditinggalkan, jadi tidak akan mungkin Davin dapat memantau anak gadisnya setiap waktu. Tetapi Gavan juga tidak bisa mengajak Wangsa untuk ikut dengannya ke Italia, sebab pria itu pergi ke sana bukan semata-mata untuk liburan santai, melainkan ada tugas yang harus dia selesaikan. Kalau semisal Wangsa diajak bisa-bisa fokusnya pecah karena anak gadisnya itu suka kumat!

“Gua, sih, bukannya gak mau, tapi gua bener-bener gak bisa ngurusin bocil modelannya anak lu. Bebal kalau dibilangin, sama lu aja dia gak nurut, apalagi sama gua? Yang ada gua kena mental sama dia!” ucap Davin sesaat sebelum menghisap rokoknya.

“Jujur gue juga bingung, gue gak tau lagi harus gimana selain minta tolong sama lo,” lirih Gavan, memberi jeda untuk menyesap kopi hitamnya.

“Gue cuma takut Wangsa bakal bersikap yang aneh-aneh kalau gue tinggal sendirian tanpa ada yang ngawasin. Lo tau 'kan tingkahnya anak gue kayak gimana?” Gavan melirik cemas pada Davin. Pria itu benar-benar dibuat dilema oleh Wangsa.

“Stres anak lu, mah! Makanya gua gak mau dititipin dia, takut gua ikutan stres. Bisa gila lama-lama gua, liat lu aja gua udah miris, apalagi kalo gua nanti?”

Gavan tersenyum miring. “Gue juga kalau bisa tuker tambah, mah, udah dari dulu gue lakuin kali, Dav!”

“Anjirrr lo! Gak boleh gitu woi, lu sama Mimi 'kan udah capek-capek bikin tu anak sampe jadi!” kata Davin yang tertawa keras seraya menepuk-nepuk pundak Gavan, membuat pria itu pun ikut tertawa.

“Biasalah, kurang didikan dari emaknya dia.”

“Gamon lu sama Mimi?” Davin semakin keras mentertawakan hidup pria itu yang miris.

Gavan mengangguk, otaknya seakan memutar kembali semua kenangannya bersama wanita itu yang kini memilih untuk pulang pada keluarganya dan merelakan rumah tangga mereka selesai.

“Kalau udah bahas masa lalu suka sedih gua.”

Davin menggeleng-gelengkan kepalanya. “Makanya punya istri jangan apa-apa lu ajakin sparing terus!”

・⁠・⁠・♫


“Udah hampir 13 tahun kita hidup masing-masing, kamu apa kabar sekarang? Wangsa udah tumbuh dewasa, emang kamu gak kangen sama dia?”

Gavan memandangi foto pernikahannya dengan mantan istrinya yang masih pria itu simpan. Hanya itu yang ia punya untuk mengobati rasa kangennya pada Mimi yang sudah lama berpisah, akses untuk menghubungi wanita itu telah di blokir, Gavan tidak bisa melakukan banyak hal selain memendamnya.

“Setiap malem aku selalu berdoa supaya kita bisa bareng-bareng lagi kayak dulu, tapi aku gak berani minta kamu lagi ke keluarga kamu, karena aku tau mereka gak akan mungkin ngebiarin anak mereka hidup sama laki-laki pengecut kayak aku...”

“Tapi satu hal yang harus kamu tau, aku di sini masih sayang sama kamu. Perasaan aku gak pernah berubah dari dulu buat kamu.” Gavan memejamkan matanya seraya memeluk foto pernikahan mereka, tanpa sadar air matanya satu-per-satu berjatuhan membasahi pipinya.

Wangsa menjadi salah satu alasan mengapa ia pembawaannya menjadi lebih tenang sekarang, karena pria itu sudah pernah merasakan yang namanya kehilangan. Itu juga menjadi salah satu alasan mengapa Gavan jarang memarahi atau sekedar membentak Wangsa, karena ia memiliki janji pada dirinya untuk berubah. Berubah dari kebiasaannya yang gampang emosian, tak ayal tangannya dulu sering melayang ke udara.

Gavan tidak ingin kesalahan yang sama terulang, maka dari itu ia tidak mau jauh-jauh dari Wangsa. Gavan merasa khawatir dan takut jika suatu saat gadis itu ikut meninggalkannya seperti istrinya. Gavan ingin Wangsa selalu ada di sampingnya, menemaninya, hingga pria itu tutup usia. Karena harta yang Gavan miliki saat ini adalah putrinya.

Dan sekarang pria itu bingung, apakah ia harus mengikuti kata Davin untuk memasukkan anaknya ke pesantren? Selain aman, Davin juga berharap karakter Wangsa bisa terbentuk dari sana. Belum lagi, Gavan juga harus segera berangkat ke Italia dalam waktu yang cukup lama dan pastinya tidak bisa jika harus meninggalkan putrinya sendirian.

“Lu gak perlu khawatir, di pesantren anak lu bakalan dijaga sebaik mungkin. Gua juga yakin, anak lu pasti di sana bakal dapet banyak ilmu. Gak perlu takut.”

“Lu masukin Wangsa ke pesantren bukan berarti lu gak sayang sama dia, justru pesantren itu tempat terbaik buat membangun karakter anak lu yang masih acakadut!” kata Davin pada siang tadi.

Gavan menyeka wajahnya, lantas meremas-remas kepalanya yang terasa berdenyut-denyut hebat.

———

Thank u, next

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Thank u, next.
Gavan Del Wazmi

|4

THIS IS CEGIL (on going)Where stories live. Discover now