4

4 2 0
                                    

"Jadi gimana?" Edzar menyeruput kopi hangat yang baru saja Nawa buatkan untuk Edzar. Itu karena ibunya menyuruh Nawa membuatkan saat Edzar bertanya keberadaan kopi dirumahnya.

Entahlah, rasanya pembahasan patriarki bukan lagi menjadi obsesi Nawa untuk terus memojokkan Edzar. Meski sebenarnya Nawa lebih memiliki seribu kalimat dan ungkapan untuk lebih memantaskannya sebagai seorang wanita didunia ini. Tapi pikiran kosongnya kembali lagi. Perasannya tak begitu mengenakkan.

"Zar."

"Hm."

Nawa menoleh, menatap Edzar yang masih sibuk untuk mendinginkan kopinya. Duduk didepan teras dengan angin malam yang semakin lama semakin redam dirasakan, semenjak ibunya Nawa memutuskan pergi kerumah bibi Serni, Nawa jadi merasa tak enak hati karena kejadian tadi.

"Jujur sama gue deh, serius lo setuju sama patriarki? serius lo tipe cowo yang kaya gitu?"

Edzar menaruh gelasnya diatas meja samping dirinya, lalu menghela nafas perlahan. "Patriarki itu ada waktunya kalo menurut gue, gue akui ga selamanya patriarki dibenarkan. Tapi anggapan bahwa patriarki- sebenernya bukan patriarki, tapi emang takdir seorang laki laki ya memimpin rumah tangga dong-"

"Loh, patriarki kan bukan sekedar itu, semua orang emang tau laki laki yang memimpin rumah tangga yang jadi kepala keluarga, maksud gue-"

"Iya gue tau Wa, cuman-"

"Ah udahlah males gue bahasnya, gue cuman bingung aja."

"Kenapa?"

Merasa keadaan cukup menenangkannya, deru suara angin yang kencang menemani kisah mereka malam ini. Rumput rumput yang diizinkan bergoyang didekat pagar bahkan tak bisa mendengar saat Nawa mulai melontarkan kata perkata yang ia anggap tak terlalu penting untuk orang lain dengar.

"Dulu, bokap gue tuh patriarki abis, orang yang selalu nganggep nyokap gue pelengkap rumah tangga doang, segala pekerjaan rumah, bokap gue gamau ikut campur, dan lebih parahnya, nyokap gue ga pernah ngrasain yang namanya dilakukan selayaknya istri selain jadi budak sex."

Edzar tersedak! "Maaf? sori banget Wa kalo gue nyela."

"Kenapa? kopinya pahit?"

"Bukan, m-maksud lo budak sex tadi apa?"

"Anjir apa gue terlalu oversharing ya? sori."

Bingung menanggapi, Edzar justru merasa salah bicara. "Gue ga maksa buat lo cerita semuanya, yang lo rasa aman dan nyaman buat ngobrol sama gue aja-"

"Engga engga, gajadi udah lupain aja."

"Okay."

Selain memang tak bisa memaksa Nawa untuk menceritakan hal yang menurutnya pun sensitif, Nawa sendiri sebenarnya sudah lama ingin membericarakan hal ini pada siapapun yang ia anggap bisa ia percayai untuk melampiaskan rasa kesal dan penasarannya. Meski ia pernah melontarkan hal sama dengan Raihan kala itu, tetap saja, Raihan itu dulu, pemikiran orang baru mungkin akan merubah pola pikir Nawa.

Belum lagi, Nawa rasa mereka juga baru saling kenal. Tak terlalu mengerti Edzar bagaimana orangnya. Tapi mengetahui maminya selalu saja menyebut bahwa Edzar adalah anak dari teman Lily, mungkin ia percaya bahwa Edzar juga sebenarnya orang yang baik. Hanya saja sangat menyebalkan.

"Hubungan nyokap lo sama mamih gue apaan?"

"Mau tau aja apa mau tau banget?"

"Dih?"

"Gue tuh sebenernya pindah kesini bukan tanpa sebab, gue-"

Aiyaiya im the little butterfly~

Seseorang menelpon pada ponsel Nawa.

ECHOES OF DESTINYWhere stories live. Discover now