8

4 2 0
                                    

Hari demi hari melaksanakan ujian akhir semester memang tak mudah bagi Nawa, terlebih materi materi yang terus saja menghantui itu tak kunjung membuatnya merasa lega. Libur panjang memang akan tiba, tapi ia terlebih harus melewati ini selama seminggu penuh. Belum lagi tugas tugas pengganti uas bukan suatu hal yang mudah, bukan hanya berupa resume artikel atau bahkan mengerjakan soal quis. Semua ini membuatnya pusing.

Nawa tak terlalu suka belajar, tapi ia tau aturan. Kalau memang waktunya belajar ia akan lakukan, seperti sekarang ini. Usai pulang dari kampus siang tadi, Nawa langsung belajar agar malam nanti bisa ikut kenalan Miya yang katanya akan membantunya menemukan pekerjaan.

Menerima uang dari bibi Serni dan kakeknya selama ini pun, ia belum sempat untuk mengunjungi. Ia hanya mendapat kiriman dan ucapan hangat tanpa berniat berucap terima kasih dengan mendatangi rumah mereka. Bukannya Nawa tak ada niat, ia benar benar belum ada waktu.

Sejenak matanya tak fokus pada buku, ia selalu menoleh pada pintu seberang dimana kamar Edzar yang dapat ia lihat dengan jelas tatkala pintu kamar yang menuju balkon miliknya terbuka lebar.

Ruangan di rumah sana terlihat sangat muram, tidak ada cahaya dan kosong. Pikirnya, mungkin Edzar tidak ada dirumah. Tapi sampai sekarang pun, Nawa sama sekali tidak mengetahui siapa seorang Edzar yang sebenarnya. Seorang mahasiswa juga bukan, bekerja pagi dan sore juga sepertinya tidak. Karena memang baru kali ini Nawa menyadari bahwa Edzar kini tidak ada dirumah untuk waktu yang lama, setau Nawa sedari ia berangkat kuliah tadi pagi.

Setelah bersiap kurang lebih 45 menit, Nawa kini ditempat untuk menunggu Miya dan yang katanya kenalannya itu datang untuk menawarkan pekerjaan. Disebuah rumah makan sederhana dipusat kota, yang jaraknya juga tak terlalu jauh dari rumahnya. Rasanya cukup senang saat Nawa menyadari bahwa sebentar lagi ia akan bisa bekerja.

Jam menunjukkan pukul delapan malam, setelah menyeruput matcha latte nya suara deru mobil memenuhi telinga Nawa. Memberitahu bahwa itu mobil milik Miya.

Datang dua orang dengan tampilan sangat elegan, Nawa sontak berdiri. Beralih memberi salam pada keduanya dan duduk disofa hangat. Suasana diluar cukup dingin. Jadi Nawa sengaja memesan tiga minuman hangat sesuai pesanan Miya.

"Halo selamat malam." Nawa memberi ucapan hangat, senyum dari wajahnya yang lembut membuat kedua wanita yang baru datang pun ikut tersenyum.

Miya mengangguk mengiyakan, seolah memberi tahu Nawa bahwa orang ini yang akan menerima Nawa untuk bekerja padanya. "Nawa, ini Mareta, dan Mareta, ini Nawa."

Keduanya saling berjabat tangan, "Nawa Rekha"

"Mareta Sani, panggil aja Reta."

"Reta?" Nawa memastikan, sepertinya ia pernah mendengar.

"Eh kalian ngobrol aja ya, gue duluan mau kerumah Nera ini udah dikabarin" Miya berdiri usai memeriksa ponselnya, lalu memberi salam pada keduanya. "Aman aja, nanti gue balik biar dijemput." Reta mengiyakan, beralih menatap Miya yang berjalan keluar, lalu keduanya saling tatap untuk berbicara.

"Jadi gimana? kenapa butuh pekerjaan? bukannya sedang kuliah juga kaya Miya?"

"Iya, saya memang sedang kuliah, tapi butuh uang untuk menghidupi saya sendiri setelah orang tua saya pergi."

Reta mengangguk-anggukan kepala, mematukkan jari pada meja seraya berfikir, "Kamu udah tau bakal bekerja apa untuk saya?"

"Belum tau, Miya kemarin cuman memberi saran untuk bekerja pada anda." Nawa nampak tak ragu, dari gelagatnya, Reta memang kelihatan baik, apalagi saran dari teman dekatnya, tentunya dapat dipercaya.

"Jadi gini," Reta berhenti bicara, ia cukup gusar untuk menjelaskannya. "Mungkin kedengeran aneh bagi kamu, dan mungkin pekerjaan ini tidak membutuhkan kontrak kerja."

"Untuk sementara ya? tidak apa apa, saya dapat pekerjaan pun saya sudah senang."

"Jadi gini, adik saya itu—gini, kan orang tua saya sedang pergi dan babysitter yang biasanya mengurusi itu tidak bisa lagi bekerja karena masalah keluarganya. Jadi kalo kamu sementara ini ngurusin adik saya gimana? sampai babysitternya balik lagi dari kampung halaman, kan saya juga sibuk bekerja dirumah sakit. Ga terlalu sempet buat ngurusin adik saya."

"Tidak apa apa, saya bisa saja. Kalau boleh tau, adiknya umur berapa?"

"Dua tahun."

"Baiklah, tapi maaf, karena saya ini kan sedang ada uas, jadi saya baru bisa aktif bekerja kalau sudah mulai libur, tidak apa apa?"

"Iya gapapa, nanti kalo udah mulai liburnya bisa langsung hubungi saya ya, ini kartu nama saya."

Reta memberikan kartu nama beserta nomor teleponnya, yang lalu diterima Nawa dan menamatinya baik baik. Lalu memasukkanya dalam tas miliknya.

"Yaudah gitu aja ya." Reta berdiri, membuat Nawa ikut berdiri untuk menghormati kepergiannya, "Iya terimakasih,"

"Panggil Reta aja, gapapa."

"Terima kasih Reta."

"Iya sama sama, saya pergi dulu ya"

"Silahkan." Nawa menundukkan kepalanya, tersenyum simpul dan menyaksisan Reta berjalan keluar dari rumah makan itu dan berdiri didepan untuk menunggu seseorang.

Nawa kembali duduk, rasanya sangat senang meski ia pun belum tau berapa yang harus ia dapatkan untuk pekerjaan seperti ini. Ya—meskipun Nawa sendiri belum pernah mengurus anak kecil atau bahkan bayi, tapi kalau dipikir bisa saja. Ia kan bukan termasuk manusia tak sabaran. Ia juga cukup telaten.

Tangannya meraih kembali kertu nama milik wanita bernama Mareta tadi, mencatat nomornya dalam ponsel lalu menyimpannya.

Tak sampai disitu, karena kegirangannya, ia membagikan ceritanya pada Edzar, pria baru yang menjadi tetangganya itu. Meski mereka tak sedekat itu, Edzar tau Nawa juga sedang mencari pekerjaan, jadi Nawa membagikan momen bahagianya bahwa ia kini akan mulai bekerja.

Tapi, tanda ceklis satu pada pesan yang ia kirim membuatnya menautkan kedua alis. Nawa bingung sejenak, pasalnya pria sombong ini tidak pernah mematikan data, yang Nawa tau saking penganggurannya pria ini, ia tak bisa lepas dari ponsel dan langsung merespon baik apapun yang ia kirim.

Tapi ya bagaimanapun juga, Edzar manusia. Mungkin kalau bukan ada urusan diluar yang membuatnya sampai tidak dapat memegang ponsel ya karena memang datanya habis bukan. Baiklah, itu tak terlalu menjadi masalah Nawa. Ia kini hanya tersenyum manis senang, dan memberi tahu kabar ini pada teman lainnya, termasuk Miya yang membantunya. Menyalurkan kebahagiaan yang benar benar Nawa rasakan.

Sampai matanya tergulir kesamping, perasaan senang yang ia dapatkan ingin ia gambarkan pada jendela kaca dari dalam ruangan. Tapi, kedua alisnya kembali bertaut saat mengetahui mobil Range Rover datang dan berhenti tepat pada pandangannya dari dalam rumah makan itu. Tanpa mengetahui siapa didalamnya, yang ia tahu Mareta masuk dan lalu pergi begitu saja.

Bukan kebetulan kan kalau Raihan juga memiliki aset bernama Range Rover itu, sialnya ia tak hafal plat nomor Raihan. Sudahlah, lagipula ia tak peduli bukan? Meski sebenarnya ia juga bertanya tanya.

—

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
ECHOES OF DESTINYWhere stories live. Discover now