10

3 1 0
                                    

Pagi ini, suasana dalam rumah Edzar meninggalkan kesan hangat. Meski ia sama sekali tak mengingat apa yang telah terjadi, hanya sebatas bahwa ia mabuk bersama teman temannya semalam. Terbangun dalam kondisi, ia memakai selimut? disofa ruang tengah, dan Edzar sontak terduduk cemas saat ia kini memeluk bantal kecil berbentuk bintang berwarna kuning cerah. Bantal yang ia yakini tak akan ia keluarkan dari kamarnya sendiri, kenapa kini justru berada dipelukannya yang baru saja terbangun disofa ruang tengah.

Terduduk dengan kepala yang pusing, tangannya memegang pelipis, merasakan denyut sakit dan mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Tapi justru, memaksanya mengingat malah membuatnya semakin pusing.

Ia beranjak berdiri, berjalan menuju pintu untuk membukanya agar udara masuk, pun dengan gorden jendela yang ia singkirkan kesamping agar cahaya cahaya matahari masuk melewatinya.

Matanya memicing saat mengetahui Nawa dari balik kaca jendelanya itu memakai sepatu ditangga pekarangan rumahnya. Membuka pintu cepat, Edzar melambaikan tangan.

"Oii" Dengan senyum tak berdosa itu, ia menyapa Nawa dengan bantal bintang yang masih saja ia dekap.

Nawa menoleh usai selesai mengenakan sepatu, berdiri tegak dan memicingkan matanya tatkala cahaya matahari yang penuh menyorotinya.

"Ejanya udah bangun? kakak pergi dulu yah jangan lupa mamam." Wanita itu tertawa lepas, lalu beralih menaiki sepeda motornya dan pergi begitu saja.

Sedangkan ditempatnya, Edzar terpaku sejenak. Sejak kapan wanita itu tau panggilan ibunya untuknya. Mencoba mencari tahu penyebabnya, mungkin hanya kebetulan. Selain malas berpikir, Edzar juga tak peduli, tapi ini soal harga diri.

Hari ini Edzar tak ada rencana untuk pergi kemana saja, selain ia ingin bersantai dirumah, Edzar juga tak merasa ada ajakan dari siapapun. Matanya beralih melihat jam di dinding, membuatnya mendengus saat ia sadar ia harus membersihkan diri. Bau alkohol itu masih memenuhi dirinya.

Benda pipih yang semula berada diatas meja makan itu berdering, menandakan bahwa tengah ada seorang yang menelepon. Tanpa merasa bahwa ia terpanggil, Edzar berjalan santai menuruni tangga sembari mengusak rambutnya dengan handuk, hingga belum sampai tangannya meraih ponsel yang tadinya berdering itu akhirnya tinggal logo. Ponselnya mati sesaat ia ingat bahwa baterainya habis dari semalam belum ia charger.

Mendengus pelan, Edzar kembali menaiki tangga menuju lantai dua dimana kamarnya berada, beralih untuk mencharger ponselnya dan kembali mengeringkan rambutnya yang setengah kering. Pintu balkon ia buka lebar, menampilkan pintu seberang milik Nawa yang tak ditutup, entah sengaja atau tidak dari tempat Edzar berdiri, dapat ia lihat sebagian dalam kamar Nawa melewati pintu kamar balkon Nawa yang tak tertutup itu.

Dengan lampu kamar yang masih menyala pula, Edzar jadi sedikit penasaran isi kamar Nawa sepenuhnya. Meski sebenarnya ia juga tak akan mengizinkan siapapun memasuki kamarnya, tetapi tatanan dalam kamar Nawa cukup menarik perhatian Edzar saat ia mengetahui bahwa kamar itu, sangat berantakan. Bukan berantakan yang baju dilantai atau bahkan sampah berserakan, melainkan meja rias yang sudah tak berbentuk dengan barang diatasnya telah berjatuhan, kaca lemari hancur dan gelas pecah yang berceceran dilantai.

Dahinya mengerut, mencoba menyipitkan mata untuk melihat detail apa saja yang dapat ia lihat justru membuatnya semakin penasaran. Entah apa yang sedang terjadi dan apakah Nawa melakukan itu karena seseorang atau hanya kesal semata.

Usai menyelesaikan ujian terakhirnya, Nawa kini berada dibelakang kampus dengan teman temannya. Sekedar duduk duduk sembari menikmati makanan yang semula mereka beli. Membahas hal hal yang kurang berkenan selama berkuliah cukup menguras energi mereka satu persatu.

"Lo pada kesel ga sih sama orang yang ga pernah ngrasa sungkan atau gaenakan sama kita?"

"Pas banget, baru aja tadi kejadian, lo tau Hersa? kating semester 7 cewenya Daniel?"

ECHOES OF DESTINYWo Geschichten leben. Entdecke jetzt