14

1 0 0
                                    

Beruntung pagi ini Edzar terbangun lebih dulu sehingga dapat pergi sebelum Nawa terbangun dan mendapatinya tertidur disampingnya. Bukankah itu akan menjadi masalah. Meski ia bisa saja menjelaskan, pasti Nawa akan menuduhnya yang tidak tidak. Lebih baik ia bergegas pergi dari rumah Nawa dan hanya termenung akan apa yang telah terjadi.

Dengan wajah bantalnya, dan hoodie yang masih menyelimuti tubuhnya. Edzar terdiam dengan posisi terlentang di kamarnya sendiri. Sejenak ia terduduk, melirik keluar dimana pintu balkon kamar Nawa masih tertutup rapat. Merasakan ada hal yang aneh pada dirinya, Edzar jadi tak tenang.

Tangannya menyentuh dadanya beberapa kali, degub jantung itu tak kunjung baik baik saja seperti biasanya.

"Gue ngapain aja ya semalem? Tidur disampingnya doang kan? Ga sampe jebolin apa apa?!"

Drrt Drrt

Ponselnya berbunyi, segera Edzar meraih ponsel miliknya yang berada disamping bantal dan mengangkat saat mengetahui bahwa ayahnya menelepon.

"Hah? Sekarang banget yah?"

Pria itu mengernyitkan dahinya bingung, memegang pelipis dengan sebelah tangannya. "Iya nanti Edzar kesana."

"Apa?"

"Disini aman aja yah, tapi ya gitu. Ayah sendiri udah denger kan kabarnya."

"iyaa iyaaa!"

pip.

Usai telepon itu mati, Edzar segara memberesi dirinya sendiri untuk hal yang telah ia rencanakan baru saja. Walau Edzar masih bingung, apa mau dari ayahnya itu.

Dirumah Reta kali ini, Nawa sengaja tak menyalakan ponselnya semenjak ia datang sampai siang ini. Mengetahui bahwa Raihan belum juga memberi kepastian, rasanya ingin marah satu tahun dan mendiami pria itu saja.

Dengan berat hati dan mood yang kurang baik, tidak mengganggu apa yang seharusnya dilakukan Nawa dirumah ini untuk mengurusi Kiya.

Hanya saja gadis kecil itu entah mengapa sangat suka menangis hari ini. Tidak mau makan, tidak mau minum susu. Tidak mau mainan, hanya ingin menangis dan merengek.

Menggendongnya kesana kemari seraya mencoba menidurkan, tidak ada gunanya. Gadis itu selalu saja membuat telinga Nawa pengang. Jujur saja, baru pertama kali ini Kiya menangis dengan durasi yang sangat banyak dan sangat menyebalkan. Apakah ini titik ter-stres seorang ibu jika mengurus sosok anak kecil? yang sangat sulit sekali dimengerti apa maunya.

"Kiya mau apaa? makan??"

Gadis kecil itu menggelengkan kepalanya kuat saat Nawa mengangkat mangkuk kecil berisi bubur yang siap disantap,"HUAAAAA!!! NONONOO" Nawa menaruhnya kembali, dan beralih mengambil botol susu.

"Terus mau apa anak manis? minum susu yah?"

sret!

Tangan kecil itu menyibak botol yang dibawa Nawa, membuatnya jatuh dan bocor. Sehingga lantai banjir air akan susu buatan Nawa untuk Kiya.

Menghela nafas lemah, Nawa mendatarkan wajahnya. "Terus dedek mau apaa?" Beralih mengambil botol itu untuk menyingkirkan. Nawa menunduk dan jongkok agar mengelap air susu yang tumpah menggunakan kain bekas yang berada disana.

Suara tangisan itu, bahkan cukup membuat perhatian bu Narsi meliriknya. "Ada apa kak Nawa?"

"Ibu tau ga ini kenapa Kiya nangis terus?"

Diambang pintu, dengan sapu yang dibawa bu Narsi, ibu paruh baya itu hanya menggeleng pelan. "Saya gatau kak, saya juga baru baru ini melihat Kiya. Sebelumnya Kiya tidak tinggal disini"

ECHOES OF DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang