6

3 2 0
                                    

Sesuai dugaan, Nawa tau bahwa Mara, selaku kakak perempuan Raihan ini benar benar tidak pernah menyukainya. Dari semenjak dua tahun yang lalu, hubungan kedua orang ini tak pernah lagi semulus hubungan Raihan dan Nawa yang pernah terjalin. Bahkan mengetahui keduanya tak lagi berhubungan cukup membuat Mara senang kala itu. Tapi, kenapa sekarang wanita itu datang ke rumah ini. Sangat tidak sopan. Membuat Mara naik pitam.

"Lo ngapain kesini?"

Sebenarnya Nawa juga sangat malas sekali menghadapi, terlebih kakaknya Raihan ini selalu mengambil kesempatan jika tidak ada Raihan untuk mencemooh Nawa habis habisan. Hubungan Nawa dan juga Lita selaku ibunda Raihan juga sebenarnya tak sedekat itu, hanya saja saling menghormati diantaranya.

Tanpa berniat membalas ucapan Mara, Nawa hanya duduk disofa ruang tengah seraya melihat televisi yang telah menyala semenjak ia datang kesini.

Merasa tak digubris, Mara mendekat, "Ditanyain tuh jawab!"

Mengetahui meski ia menjawab akan tetap dibantah pun membuatnya hanya diam. Tanpa mau menjawab, karena ia tau, apapun yang ia ucapkan tidak akan merubah Mara agar menyukainya kembali seperti dulu.

Tak kunjung digubris. Wanita dengan rambut blonde panjang itu beralih pergi sembari terus bergumam ucapan kotor yang bahkan hafal untuk Nawa dengar.

Nawa menunduk, dan selalu berfikir apa yang telah ia perbuat sampai membuat Mara benar benar membencinya. Padahal dulu, hubungan mereka ya tampak baik baik saja, sebagaimana teman biasanya. Bahkan Nawa akui, Mara seperti kakaknya sendiri mengingat ia tidak memiliki saudara. Namun sekarang, mengakui ia sebagai kakak Raihan saja Nawa seolah ragu.

Menghela nafas kasar, Nawa menenangkan diri. Sampai Raihan datang bersamaan dengan Lita yang turun dari tangga.

Lita memang sudah beranjak tua, umurnya yang terbilang memasuki kepala enam itu sudah bukan waktunya bergaul dekat dengan anak muda.

"Halo bunda." Nawa berdiri, beralih mencium pipi Lita dan membantu wanita itu untuk duduk disofa.

"Aku buatin teh dulu ya." Nawa menarik lengan kemeja Raihan, menggeleng pelan seraya mengisyaratkan untuk duduk bersama juga. "Gausah, aku disini ga lama."

"Gimana sayang? katanya kamu mau kerja ya diperusahaan bunda?"

Nawa tersenyum kikuk, ia merasa tak enak juga sebenarnya. Karena ia tak memiliki keahlian khusus, pun dengan ia yang bingung untuk mengambil bidang apa.

"Iya bunda, semenjak Mami meninggal. Nawa jadi harus kerja buat menuhin kebutuhan, tapi kalau yang dicari berkemampuan khusus ga apa apa tante, Nawa bisa kerja ditempat lain."

"Kalau kamu ga bisa di bidang IT, kamu bisa jadi cleaning service dikantor—"

"Bunda! kok cleaning service sih?!" Raihan menyela, jelas bukan pekerjaan yang cukup mulia baginya untuk diberikan pada Nawa.

Mendengar itu, sebenarnya Nawa tak terlalu keberatan. Hanya karena Raihan mencoba membelanya, ia jadi merasa terhina. Seolah ia terlalu rendah dimatanya.

"Loh kan memang dikantor yang dibutuhin tim IT, soalnya Mika kemarin ngundurin diri." Lita merasa tak salah, toh ia juga sudah baik bukan menawari pekerjaan. "Memangnya Nawa bisa?"

Pertanyaan itu, membuat Raihan jadi merasa tak enak untuk mengundang Nawa kemari. Bahkan dari arah dapur, Mara yang telah mendengar dari tadi kini tertawa culas seraya mendekat. "Ya emang kenapa si kalo kerja jadi cleaning service, kaya orang mampu aja ngremehin cleaning service."

"Aku engga ngremehin kok kak, iya Nawa ga apa apa kerja jadi cleaning service, lagian Nawa cuman butuh uang kan."

Mendengar ocehan itu, Raihan tampak gundah. "Ga, Raihan ga bakal biarin kamu kerja jadi cleaning service!"

ECHOES OF DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang