7. Obat dari Pashenka

405 30 0
                                    

"Kudengar, kakimu sakit," kata Duchess Edmont.

Duchess Edmont yang tengah duduk di tepian tempat tidur tampak tenang. Air mukanya terlihat tanpa beban. Elegan, memang dasar jiwa bangsawan.

Aku tersenyum kecil sebelum menanggapi. "Hanya sakit sedikit, Duchess. Beberapa hari lagi pasti akan sembuh."

Bohong sekali. Nyatanya kakiku sudah bengkak sebesar kaki gajah. Namun aku tidak bisa mengeluh di depan Duchess Edmont. Nanti bisa dilabeli menantu tak tahan penderitaan.

"Apore gempar mendengar kau kembali sakit. Mereka sampai mendatangi mansion karena khawatir. Kurasa masih ada sampai sekarang," tutur Duchess Edmont.

"Benarkah?" Mataku membola, di luar kendali. "Sampai datang ke mari?"

"Tidak mungkin aku berbohong meskipun untuk menghiburmu."

Benar juga, mana mungkin seorang Duchess Edmont yang membentangkan jarak denganku bersikap demikian. Ia hanya menerima Joana sebagai menantunya.

"Ini sudah empat hari. Melihatmu masih terbaring di tempat tidur, artinya belum ada perkembangan. Utusan yang pergi ke selatan belum kembali. Kau belum diobati sama sekali," ucap Duchess Edmont.

"Tuan Jorell datang sehari sekali untuk mengoleskan salep. Nyerinya sudah berkurang, meskipun semakin bengkak," balasku dengan tenang.

Sebenarnya, kehadiran Duchess agak mengejutkan. Ayam masih berkokok, saat wanita itu tiba-tiba saja datang berkunjung dan duduk diam selama hampir setengah jam.

Seingatku, dia tidak pernah bersikap baik selain dingin pada Giselle. Di kehidupan ini, entah kenapa sikapnya aneh. Tak mungkin seseorang bisa berubah secepat angin. Pasti ada sesuatu.

"Apa kau tidak nyaman karena aku datang?" tebaknya.

Tenyata, Duchess Edmont termasuk orang yang peka, ya. Andai saja aku berani mengiyakan, pasti dia sudah keluar. Namun sebagai menantu tentu harus menunjukkan sikap baik dan menerima secara terbuka.

"Tidak, Duchess. Saya sangat terhibur. Selama empat hari, hanya Leila yang bolak-balik membawa keperluan saya."

"Setahuku dia tidak pernah meninggalkanmu sedetik pun."

"Benar, Duchess. Selain menjaga saya, Leila juga sibuk meracik salep tambahan yang Tuan Jorell minta. Waktu kami bersama sangat sedikit. Jadi, saya agak bosan," kataku jujur.

"Pelayan yang kau percaya hanya Leila. Padahal seharusnya kau memiliki tiga atau lima orang yang ada di sisimu. Leila pasti sangat kerepotan."

"Ah, tidak, Duchess. Leila sangat cekatan."

"Dan kekurangan waktu istirahat."

Aku terdiam. Benar, Giselle asli ataupun aku memiliki persamaan. Kami tidak bisa sembarang percaya pada orang lain. Satu-satunya yang mendapat kepercayaan itu adalah Leila.

Perkataan Duchess membuatku berpikir panjang. Leila tidak pernah mengeluh kelelahan atau sulit mengerjakan banyak hal sendirian. Namun dia hanya gadis biasa. Tenaganya pasti terbatas.

Kalau dipikir-pikir sepertinya aku butuh tambahan pelayan. Dua atau tiga orang saja cukup. Toh, keluarga Edmont yang menggaji mereka.

"Aku akan membantumu, saat kau bilang butuh pelayan baru." Duchess Edmont bangkit.

"Terima kasih, Duchess. Maaf, saya sudah membuat Anda khawatir."

"Boleh aku melihat kakimu?" pintanya.

"Ah, tentu!"

Aku hendak menyibak selimut, tapi Duchess Edmont melarang. Dia melakukannya sendiri. Saat melihat kakiku membengkak dan hitam hingga betis, mulutnya meringis.

Me And The Bad Husband [On Going]Where stories live. Discover now