17. Desa Nixam

289 26 1
                                    

Pedagang kecil-kecilan duduk menunggui dagangannya. Wajah lesu serta kuyu bagai tak punya gairah hidup. Tak ada satupun pembeli mampir. Berbeda dengan pasar di dekat mansion yang selalu ramai oleh bangsawan.

Para wanita membawa bakul. Entah berisikan apa. Matanya fokus saja ke jalan alih-alih melirik ke sana ke mari untuk melihat sesuatu yang bisa dibeli. Anak-anak mereka mengikuti dari belakang--dengan telunjuk memegang erat gaun lusuh milik ibunya.

Kumuh, kotor, bau, dan sesekali aroma pesing menyentuh hidung. Tempat ini sangat tidak terawat. Kemiskinan merata. Jelas sekali terlihat di mata.

Padahal tak jauh dari desa ada hutan. Sumber daya alam melimpah. Namun, sepertinya tak ada yang cakap dalam mengelola isi hutan tersebut.

Tak terlihat bangunan layak bernama sekolah. Ah, dengan kehidupan begini, pasti mencari uang lebih penting daripada pendidikan. Kasihan sekali. Tubuh anak-anak pun terlihat kurus sekali.

Sangat disayangkan, paras rupawan mereka bergelimang debu. Andai saja tahu cara merawat diri, maka desa ini adalah penghasil manusia-manusia unggul dari segi rupa dan tubuh.

"Nona, sepertinya tempat ini tidak terjamah pemerintah," kata Pashenka pelan seraya membenarkan topi bulunya.

"Untuk datang ke sini saja, aku harus bertengkar dengan Duke Edmont. Artinya tempat ini memang sengaja dibiarkan terbengkalai," sahutku.

Kami tengah menyamar menjadi rakyat biasa. Duke Edmont menurunkan izin untuk menjelajah seluruh tempat terpencil di Apore.

Agar penyamaranku berhasil, semua pakaian Leila kubawa. Sebagai gantinya, aku memberikan uang padanya untuk membeli gaun baru.

Pashenka menjadi satu-satunya teman perjalanan. Jika ada yang bertanya hubungan kami berdua, maka sudah diputuskan aku adalah anak Pashenka. Dengan demikian tak ada yang curiga.

Belum mencapai separuh perjalanan saja, keadaan memperihatinkan seperti ini terlihat jelas di depan mata. Lantas jika sudah mencapai semua desa terpencil, bisa saja keadaannya lebih parah.

Setahuku, meskipun tidak pernah sudi melakukan perjalanan seperti ini, Duke Edmont selalu adil memberikan dana bagi seluruh desa di bawah kepemimpinannya. Rasanya aneh melihat ada desa yang masih miskin sedangkan desa di dekat mansion sejahtera.

"Pashenka, aku heran. Ke mana dana dibawa? Seharusnya mereka tidak semiskin ini," ucapku setengah berbisik.

"Berarti ada yang tidak beres dengan pemimpin di sini. Kita harus menyelidiki secepat mungkin, Nona. Saat masalah di sini selesai, kita akan berpindah ke tempat baru," balas Pashenka.

"Tidak perlu terburu-buru. Aku lebih senang melakukannya secara perlahan dan teliti. Lagipula semakin cepat selesai, artinya semakin cepat pula kita pulang. Itu terdengar tidak menyenangkan," kataku sedih.

"Nona, mereka pasti terharu jika tahu menantu Duke datang ke mari. Apakah Nona tidak berniat memperkenalkan diri?"

Tampaknya Pashenka berusaha menghibur. Aku langsung tersenyum agar ia tenang.

"Nanti saja. Sekarang, kita urus dulu masalah yang ada di sini," ujarku.

Di tengah perjalanan, kami bertemu dengan segerombolan pria yang tengah menggotong babi hutan besar. Di belakangnya anak-anak bersorak riang dan melompat kecil mengikutinya.

Pashenka memberi kode untuk ikut. Ternyata mereka membawanya ke sebuah bangunan. Bau amis tercium begitu pekat. Sepertinya itu rumah jagal hewan.

"Kalian tunggu di sini! Jangan ada yang masuk ke dalam!" tegas seorang pria.

"Yah, Paman! Kami ingin melihat kalian menguliti babi hutan itu!"

"Tunggu atau tidak seorang pun mendapatkan jatah!"

Me And The Bad Husband [On Going]Where stories live. Discover now