11. Keluarga Busuk

364 32 2
                                    

Joana memang bukan gadis biasa. Orang-orang mengatakan, dia polos dan tak sanggup berbuat dosa. Nyatanya, minuman itu benar-benar beracun.

Jorell telah memeriksanya. Ada kandungan racun berbahaya. Kalau sempat mengonsumsi itu, jantung dan ginjalku bisa hangus seolah terbakar.

Aku tidak memberitahukan perihal penglihatan mengenai asap hitam. Baik Leila, maupun orang lain, termasuk Jorell. Boleh jadi, Jorell tak tahu menahu akan hal itu. Daripada menyebar dan dianggap gila, lebih baik kusembunyikan saja.

Hari ini, kakiku kembali pulih seperti sediakala. Duchess Edmont tak pernah berkunjung lagi. Kejadian hari itu menyinggung hatinya. Ah, biar saja. Toh, tidak penting.

Rencana memikat perhatian Duke dan Duchess Edmont kulupakan begitu saja. Misiku sisa dua, mencari tempat persembunyian, lalu membalaskan rasa sakit hati Giselle asli pada Dariel.

Ah, Dariel. Sudah nyaris dua Minggu dia pergi ke Holland. Tak ada kabar akan kembali. Sepertinya ada urusan yang amat genting. Sampai-sampai rela berpisah dengan Joana dalam waktu yang lama.

Leila juga belum membawa kabar tentang Pashenka. Wajar, mana mungkin orang kuat nan misterius seperti Pashenka mau menjadi ajudan pribadi menantu yang tak dianggap. Aku tak berani berharap lagi.

"Nona, wajah Anda terlihat murung," komentar Leila saat membantuku mengenakan sepatu.

Aku kembali ke alam nyata. Gadis itu mengamati wajahku dengan serius.

"Benarkah?" Aku tak percaya, lalu menghadap cermin tanpa mengubah ekspresi. "Benar juga, aku terlihat seperti ayam sakit."

"Perumpamaan itu tidak boleh Anda gunakan kepada diri Anda, Nona. Itu terdengar sangat kasar," ingat Leila.

"Saat berdua denganmu, aku bebas mengatakan apa saja." Aku berdecak. "Lagipula aku hanya istri putra semata wayang Duke Edmont. Bukan putri mahkota. Tak perlu mengikatku dengan banyak peraturan."

"Siapapun yang berasal dari keluarga bangsawan harus memiliki tata krama. Termasuk Anda."

Nah, untung Leila berkata demikian. Aku jadi teringat dengan orang tuaku.

"Leila, aku ingin menanyakan sesuatu," cetusku.

"Anda mengalihkan pembicaraan."

"Tidak!" Bibirku maju beberapa senti. "Baiklah, aku akan berusaha bersikap layaknya bangsawan, tapi sekarang aku punya satu pertanyaan."

Helaan napas terdengar begitu panjang. Leila terlihat sabar, tapi itu membuatku kesal. Ia berdiri, dan menjauh dua langkah ke belakang.

"Apa itu, Nona?" tanya Leila.

"Orang tuaku. Kenapa mereka tak pernah datang berkunjung ke mari? Apa hubungan kami kurang baik?"

Tiba-tiba wajah Leila berubah murung. Bola matanya berlarian ke sana ke mari. Kedua tangannya saling meremas. Kurasa, reaksi itu sangat berlebihan.

"Anda benar-benar tidak ingat tentang Duke dan Duchess Albern?" tanya Leila, nyaris seperti bisikan.

Aku menggelengkan kepala. Tak ada ingatan sedikitpun tentang mereka.

"Lupakan saja, Nona. Nanti mereka akan datang berkunjung saat merindukan Nona," jawab Leila pada akhirnya.

"Benar, kalau rindu pasti sudah saling mengunjungi. Bagaimana kalau aku yang mendatangi mereka ke Adanac?" usulku senang.

Mengunjungi mereka bisa sekalian melepaskan beban. Jarak Apore ke Adanac sangat jauh. Dua puluh hari berkuda tanpa henti, dan dua puluh delapan hari jika beristirahat.

Me And The Bad Husband [On Going]Where stories live. Discover now