20. Dendam Seorang Anak

348 27 5
                                    

Kemarin, aku pulang ke mansion naga selama beberapa hari. Sebentar saja sudah tak betah. Apalagi melihat Joana semakin lengket saja dengan ibunya Dariel.

Namun itu tak jadi persoalan. Aku pulang bukan untuk menyapa seseorang, melainkan menyerahkan laporan. Setiap tindak tandukku harus tertulis jelas.

Tak lupa memberi tahu Duke terkait permohonan proposal bantuan ke istana. Reaksinya sama seperti Dariel. Marah, merasa hendak dipermalukan.

Namun Giselle sekarang tak bisa ditekan. Jika sudah mengambil keputusan, berarti itulah akhirnya. Aku akan menemui putra mahkota Minggu depan. Surat sudah dilayangkan, tinggal menunggu balasan.

Hari ini, aku mengajar baca tulis pada anak-anak dan orang dewasa buta huruf. Kapan pun itu, membaca dan menulis adalah hal paling penting agar tidak mudah ditipu.

Orang-orang di Nixam hanya bisa menghitung uang, itupun karena pengalaman. Bukan berdasarkan pengetahuan menghitung.

Saat sedang mengajar menggunakan papan tulis triplek sederhana buatan Pashenka, mataku tak sengaja melihat ke arah Dariel. Pria itu terlihat begitu serius mendampingi proses belajar.

Padahal dia sendiri yang bilang, tak perlu berlebih-lebihan terhadap suatu daerah. Sekarang terlihat siapa yang lebih menikmati kegiatannya.

Awalnya, Dariel hanya memantau saja. Diam-diam melihat dari kejauhan sembari merangkul gengsi yang tak berkesudahan. Namun setelah merasakan langsung betapa menyenangkannya mengajar seseorang, akhirnya jadi ketagihan.

Aku berhenti mengajar, lalu membiarkan mereka berdiskusi untuk mengajar mandiri. Di zamanku, proses ini disebut model pembelajaran kooperatif, dan menggunakan metode diskusi dua arah.

Mereka begitu bersemangat. Senang melihat tekad mereka sebesar  ini. Akibat takut mengganggu, aku memilih duduk di tepi balai, menikmati pemandangan hutan yang begitu asri dan meneduhkan.

Di sana, tepat di tepi hutan dekat semak-semak yang rimbun dan tenang, Pashenka tengah mengajar ilmu pedang.

Air mukanya biasa saja. Tidak terlihat emosi, ataupun kesal akibat beberapa orang yang tak kunjung bisa.

Sebenarnya, aku penasaran dari mana pria itu belajar. Segala kemampuannya mengagumkan. Cakap dan terampil seolah-olah pernah bekerja untuk bangsawan, atau mungkinkah Pashenka bangsawan yang bangkrut?

"Kau lelah?" tegur seseorang, Dariel Edmont.

Lamunan tak jelasku pecah. Aku melihatnya sekilas. Tampan juga, meskipun kelakuannya tidak beres.

Tuhan memang adil. Seseorang mendapatkan ketampanan, tapi tidak punya pikiran.

"Tidak," jawabku pendek.

"Lalu?"

"Ada waktunya mereka berdiskusi sendiri, yang sudah bisa mengajarkan yang belum pandai. Tutor sebaya, itu cara efektif untuk membuat semangat mereka semakin berkobar," jelasku panjang lebar.

"Tutor sebaya?" Dariel terlihat bingung.

"Tutor itu teman belajar, disebut guru juga bisa. Sebaya, ya sesama mereka. Seusia atau tidak, pokoknya yang satu tingkatan masa belajar." Aku masih sabar mengingat istilah itu masih asing di zaman ini.

Kepala Dariel mengangguk beberapa kali. Lalu kami terdiam. Membiarkan sunyi menunggangi udara yang sejuk.

"Aku ingin menanyakan sesuatu," kataku tiba-tiba.

"Tanyakan saja."

"Orang tuaku, kenapa mereka tidak pernah datang? Bahkan tidak berkabar meskipun aku hampir mati dan lumpuh waktu itu," ujarku berusaha tenang.

Me And The Bad Husband [On Going]Where stories live. Discover now