16. Hari yang Kacau

331 24 1
                                    

Aku dipanggil ke ruang kerja Duke untuk menjelaskan tujuan dari rancangan perjalanan. Namun kejadian semalam mengganggu pikiran. Akibatnya, aku sering salah bicara hingga Duke marah dan mengancam akan menolak proposal tersebut.

"Sepertinya kau berniat main-main, Giselle. Apa kau pikir ini untuk berwisata? Benar, kau bisa bermain sekaligus, tapi lakukanlah dengan benar!"

"Maaf, Yang Mulia. Saya akan memperbaikinya segera."

"Bukan masalah memperbaiki, proposalmu sudah bagus. Cara kau menyampaikan yang tidak meyakinkan, seolah-olah ini pekerjaan orang lain!"

Berkas itu dicampakkan di atas meja. Kepalaku agak berat menghadapi situasi ini. Pria tua itu pemarah sekali.

"Kukira kau sudah kompeten setelah mendapat kesempatan kedua untuk hidup. Ternyata sama saja. Tak ada yang bisa dibanggakan dari dirimu."

"Mendengar semua perkataan barusan, mendadak saya kehilangan minat. Kalau Anda ingin menolak, tolak saja."

Tentu saja harus dengan alasan yang jelas. Bukan karena aku banyak melamun. Diriku hanya manusia biasa yang terkadang memiliki beban pikiran.

"Semudah itu?"

"Yang Mulia, saya sedang tidak ingin berdebat. Jika saya tidak kompeten, maka tolak saja. Percuma melanjutkan semuanya sedangkan saya tidak mendapat kepercayaan dari Anda."

"Sepertinya sedang ada masalah."

"Benar, itu sebabnya saya tidak punya banyak energi."

Setelah mendengar itu, amarah Duke tampak mereda. Ia mencoba bertanya soal masalahku, tapi aku malah bimbang. Haruskah menceritakan semuanya atau tidak.

Namun pada akhirnya keputusanku sudah bulat. Lebih baik memendam saja, sudah pasti keluarga ini tidak akan percaya--putra kebanggaan mereka membuat skandal di kandang sendiri dengan kekasihnya.

Keputusan belum final. Duke menyuruhku beristirahat dan akan memanggil kembali saat sudah tenang. Walau tak yakin, aku menurut saja. Terserah apa kata tuan rumah.

Mau kembali ke kamar, rasanya malas sekali. Alhasil aku berputar-putar di seluruh mansion sembari mengamati lukisan-lukisan di dinding. Kebanyakan dari luar negeri. Sisanya dari pelukis lokal.

Kakek Dariel adalah adik sepupu raja dari pihak ayah. Hubungan yang dekat mengantarkan mereka menjadi keluarga terpandang. Jadi membeli lukisan-lukisan mahal tak sulit bagi keluarga ini.

Apalagi mereka pecinta lukisan. Kalau bertanya apakah aku memiliki selera yang sama, tidak juga. Hanya suka melihat, tidak sampai membeli atau mengoleksinya sebanyak ini.

Bosan dengan lukisan, aku mencoba pergi ke samping mansion. Agak jauh di sana, ada kandang kuda. Dua puluh ekor kuda milik keluarga Duke, dan masih banyak lagi yang biasa ditunggangi pengawal.

Aku menghampiri salah satu kuda putih. Cantik sekali. Penjaga menghampiri dan memintaku lekas pergi. Katanya, tak baik anggota keluarga berada di tempat kotor seperti ini.

Aku mencebik. Anggota keluarga tak dianggap rasanya tak masalah sekalipun harus bermandikan lumpur.

"Nona, sebaiknya Anda kembali ke mansion. Di sini bukan tempat untuk bermain-main," katanya.

"Kata siapa aku hendak bermain? Aku hanya ingin melihat kuda. Apa itu tidak boleh?"

"Anda harus ditemani oleh Tuan Dariel jika ingin melihat-lihat kuda."

"Kenapa?"

"Karena area ini berbahaya."

"Apa kalian mengunci kandang kuda dengan tali plastik yang rapuh? Ayolah, mereka tidak akan mengamuk dan memaksa keluar hanya karena aku datang ke mari. Lagipula ada kau di sini."

Me And The Bad Husband [On Going]Where stories live. Discover now