13. Jawaban yang Ditunggu

361 29 2
                                    

Seorang pria berambut ikal, hitam, dengan panjang sebahu tengah duduk menyesap minuman di cangkirnya. Tingkahnya begitu elegan.

"Leila! Itu benar Tuan Pashenka!" Aku berseru heboh sembari memukul-mukul lengan Leila.

Dengan kaki nyaris melompat, aku berjalan menghampiri Pashenka. Pria itu lekas berdiri menyambut. Raut wajahnya terlihat kaget.

Ada yang berbeda. Ah, ternyata Pashenka memotong rambutnya. Pantas saja terlihat lebih rapi dan ... manusiawi.

"Nona, terima kasih telah mengundang saya datang ke mari," katanya sembari menunduk.

"Mengundang apanya?" Aku hampir berteriak. "Saya bahkan memohon agar Anda mau memenuhi undangan saya."

"Sulit bagi saya untuk memutuskan datang ke Mansion Naga. Selain merasa tidak pantas, saya segan menemui anda secara langsung," tutur Pashenka.

"Nyawa saya selamat karena pertolonganmu. Dua kali, Tuan Pashenka! Dua kali!" Aku mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah di depan wajahku sendiri.

"Syukurlah, jika obat yang saya berikan manjur. Tidak mudah membuatnya sendiri. Namun saya khawatir kaki Anda akan bermasalah jika tidak segera diobati."

"Terima kasih sudah begitu peduli. Silakan, duduk kembali."

Pashenka mengangguk sekali, lalu kembali duduk. Tubuhnya begitu tegap dan terlihat kuat. Dia memang bukan orang sembarangan.

"Tuan Pashenka, apa Anda sudah menemui Duke?" tanyaku penasaran.

"Beliau orang yang sangat baik dan peduli pada Anda, Nona. Setidaknya, yang terlihat di mata saya untuk saat ini."

Bahasa tubuhnya tenang sekali. Tidak seperti rakyat biasa yang datang ke rumah bangsawan--biasanya gelisah dan salah tingkah.

Alih-alih bingung, aku malah terkagum-kagum. Pashenka dan Leila memiliki kesamaan. Mereka memiliki aura bangsawan. Jika baru bertamu, pasti orang-orang akan sulit percaya keduanya hanya rakyat biasa.

Andai saja Pashenka mau memenuhi permintaanku, pasti dia sama setianya seperti Leila. Namun aku tidak tahu cara mengungkitnya, selain menunggu Pashenka membahasnya terlebih dahulu.

Rasanya tidak etis menanyakan hal itu, padahal sudah menulis panjang lebar di surat. Nanti, Pashenka akan merasa risi. Sulit bagiku melepas pria berambut ikal itu. Dia sangat berharga.

"Ah, maaf, Tuan Pashenka." Aku berinisiatif membuka obrolan. "Sebenarnya, saya merasa tidak enak hati. Anda datang saat saya sedang pergi. Apa ada pelayanan yang kurang baik dari pelayan di rumah kami?"

"Tidak, mereka sangat baik, terutama tuan bermata biru. Tak ada yang menatap rendah pada saya meskipun datang dengan baju lusuh dan bau keringat," ungkap Pashenka.

"Syukurlah, semoga Anda tidak jera datang ke mari," ucapku lega.

Berarti Lionel ada di rumah. Hanya dia satu-satunya pria bermata biru di rumah ini. Kukira, mereka--bersama Dariel, tengah pergi ke luar. Tenyata di rumah.

"Anda sudah berjalan-jalan ke luar rumah lagi, Nona?" tanya Pashenka.

"Benar, saya pergi ke rumah kenalan. Dia salah satu orang baik yang sangat peduli pada saya. Senang bisa berkunjung ke sana setelah merencanakannya sejak lama," ceritaku.

"Anda pasti senang sekali."

"Benar, hati saya selalu bahagia jika berdekatan dengan seseorang yang saya tahu hatinya dipenuhi oleh cinta. Kebetulan, orang yang saya datangi termasuk salah seorang yang memberkati kelahiran saya dulu."

"Boleh saya tahu namanya?" Pashenka menatap penuh minat.

Jantungku berdetak kencang. Sekilas, ada rasa sedih menyergap melihat sikap penuh perhatian dari Pashenka. Rasanya aku sedang bercerita pada ayah, bukan orang asing.

Me And The Bad Husband [On Going]Where stories live. Discover now