19. Kabar Mengejutkan

347 27 0
                                    

Keesokan harinya, aku benar-benar membantu semampunya. Membeli dagangan, memberikan sejumlah uang pada anak-anak miskin dan janda, memberi tambahan modal pada pedagang, dan meminta Pashenka mengajarkan ilmu pedang.

Nyaris sebulan kami berada di sana. Dariel ikut menetap, tak pulang meski utusan dari mansion datang berkali-kali. Entah apa maunya sampai mengikuti setiap langkahku. Menjengkelkan sekali.

Namun, yang pasti, perlahan-lahan Nixam menunjukkan perubahan. Sebagaimana umumnya, ternyata ada yang tidak suka. Ia adalah seorang pemimpin yang menguasai desa tersebut.

Dengan brutal ia menyerang dan mencemooh diriku sebagai orang kurang kerjaan. Membangun desa tak akan memberikan hasil apa-apa. Dia menilai perbuatanku sia-sia.

Andai Brandon tahu aku menantu yang digambarkan lemah tak berdaya pasti ejekannya semakin menjadi-jadi. Orang-orang di sini mengenalku sebagai Adena, Pashenka sebagai Rafael, dan Dariel sebagai Robert.

Sampai saat ini, tak seorang pun tahu identitas kami. Meskipun bersaudara, Brandon dan Dariel tak pernah berjumpa. Setidaknya itu yang aku ketahui.

Hari ini, saat tengah duduk-duduk bersama gadis-gadis yang menyulam di balai, Brandon datang membawa tiga orang pengawal. Tak peduli meskipun ada Dariel, tingkahnya selalu sombong.

Lagi-lagi ada persamaan antara zaman ini dengan zamanku. Seolah-olah, jika memiliki ikatan saudara, maka seseorang merasa berada di atas angin. Bisa semena-mena pada siapa saja.

Mula-mula, ia hanya berdiri dengan mata memicing. Lalu mendekati gadis-gadis satu per satu hingga mereka ketakutan.

"Bagaimana ini? Aku takut melihat matanya yang buas itu," bisik mereka sesama gadis.

"Sama. Tanganku sampai gemetar."

"Duh, bagaimana kalau dia datang untuk mengambil salah satu dari kita?"

"Firasatku tidak enak. Hanya ada Nona Adena di sini. Tuan Rafael sedang mengajarkan ilmu pedang di pinggir hutan."

Awalnya ingin membiarkan. Lama-lama terasa risi hingga ingin menginjak batang leher gemuknya.

Aku turun dari balai. Pakaian laki-laki yang aku kenakan membuat gerak jadi nyaman. Kutatap pria itu dengan tajam.

"Tuan Brandon, kehadiran Anda membuat mereka takut. Jika ada yang ingin disampaikan lebih baik langsung bicara saja. Jangan mengganggu aktivitas kami," ujarku dengan suara datar.

"Mengganggu? Yang benar saja," cemooh Brandon. "Kau berada di wilayahku, Nona Adena. Jaga sikapmu selagi aku masih berbaik hati membiarkan kalian tinggal."

"Tak perlu diperingatkan pun saya tahu cara bersikap di tempat orang."

"Lalu berhentilah kurang ajar."

"Ah, ternyata tuan rumahnya tak bisa diberi hati. Bukankah sikap lawan tergantung Anda sendiri?"

"Sebagai penguasa, aku berhak mengusir, memerintah, dan membunuh siapapun yang membangkang. Apalagi hanya sekedar datang untuk melihat-lihat."

Brandon mengusap hidung yang kembang kempis. Wajahnya memerah. Ia terlihat aneh, seperti seseorang yang sedang memendam nafsu.

"Begini saja. Kau ikut denganku ke rumah. Ada sesuatu yang hendak kubicarakan," tawarnya.

"Aku?" Alis kiriku naik. "Tidak sudi. Untuk apa menginjakkan kaki di rumahku yang kotor itu?"

"Kau!" jerit Brandon. "Kau tahu siapa aku, tapi masih membangkang? Kurang ajar sekali! Asal kau tahu, rumahku yang paling bagus di sini!"

"Tidak peduli."

Mansion Naga dua ribu kali lebih bagus dari rumahmu. Menyombongkan hal yang tidak berguna, dikira aku akan tertarik? Tidak sama sekali.

Me And The Bad Husband [On Going]Where stories live. Discover now