Kuil merah pada malam gaduh (3)

126 27 0
                                    

Sosok pria berpakaian merah berdiri tegap ditengah taman bunga kecil. Bunga-bunga disana seolah menyambut kehadirannya, aroma bunga kembali tercium.

Meski sudah dipanggil, Hua Cheng sama sekali tidak membalikkan tubuhnya. Menghembuskan nafas pelan, Lin (Y/n) menarik keluar pedangnya. Gadis itu melesat maju menyambar pria itu dengan pedangnya, merasakan keberadaan sang gadis, Hua Cheng sontak memutar tubuh guna menghindari serangan dari Yijing Caihua. 

Benar juga, (Y/n) tidak boleh terlihat seolah-olah mengenalu Hua Cheng, malah dia harus seperti ini agar identitas aaslinya tidak terbongkar. Ekspreksi tenang tidak berubah menatap sang bencana bagai es abadi. Saat (Y/n) memajukan pedangnya, dia dapat melihat Hua Cheng akan mengulang aksi sebelumnya.

Sontak kaki sang gadis menendang betis pria itu, membuat tubuh Hua Cheng terjatuh. Menggunakan kesempatan ini, dewi bersurai (H/c) menginjak dada sang hantu bencana tanpa ampun. Pedangnya ia arahkan pada wajah Hua Cheng sebelum dia bertanya, "Apa sebenarnya maumu, Xuè Yǔ Tàn Huā?"

Kelopak bunga melayang akibat tubuh Hua Cheng yang jatuh, rembulan yang menyinari (Y/n) membuat pria itu terpanah akan sosok gadis tersebut. Bukannya menjawab, pria itu malah tersenyum dengan ramah. "Jiejie, tidak merindukanku?" 

Lin (Y/n) harus berakting. Gadis itu melangkah mundur menatap tidak percaya kearah Hua Cheng, pedengnya masih ia arahkan pada pria itu. "Kau... San Lang?" Tanya gadis itu lembut.

Benar, ini bukan pertemuan pertama mereka. (Y/n) tau Hua Cheng memiliki bentuk San Lang, karena saat dahulu dia turun untuk melihat salah satu kuilnya, (Y/n) menemukan seorang pemuda berdoa dan membersihkan kuilnya. Dan pemuda itu adalah sang hantu bencana sendiri, sungguh jika ingin menyamar (Y/n) sarankan untuk memilih warna lain untuk pakaian.

Pemuda itu mengangguk mendengar pertanyaan (Y/n). "Jiejie, aku hanya ingin mengunjungimu. Tapi sepertinya kedatanganku kurang tepat," ujar pemuda itu membenarkan postur tubuhnya. Kini dia berdiri menghadap (Y/n) yang masih mengacungkan pedangnya. Hua Cheng berjalan maju hingga ujung pedang (Y/n) mengenai area bawah dadanya.

Perlu diingat perbedaan tinggi diantara keduanya cukup banyak. "Jie, jika memang menginginkan darahku, aku akan memberikannya." Dengan ucapan itu, sontak (Y/n) langsung menurunkan pedangnya. "Tidak, daripada itu. Kamu pergilah, akan berbahaya jika dewa lain melihat keberadaanmu disini," usul (Y/n) kembali memasukan Yijing Caihua kedalam sarungnya.

Hua Cheng memiringkan kepala ketika mendengar perintah sang gadis. "Jie, menurutmu aku takut pada dewa?" Benar juga, pemuda satu ini sedikit gila.

Sekali lagi gadis itu menghembuskan nafas. "Aku sudah mengingatkan, selebihnya itu keputusanmu. Aku tidak akan campur tangan," ujar (Y/n) dengan tenang. Hua Cheng mengangguk nurut, pria itu melangkah maju sembari mengeluarkan sesuatu dari sela pakaiannya. Benda itu berupa sebuah gelang cantik.

Hua Cheng menjulurkan tangan seperti anjing yang meminta disalam oleh pemiliknya. (Y/n) menuruti permintaan pria itu, memberikan tangan kanannya. Tanpa membicarakan apapun, Hua Cheng memasang perhiasan tersebut pada pergelangan tangan (Y/n). Pemuda itu tersenyum, dia menaikan tangan sang gadis sembari sedikit membungkukan tubuhnya. Bibir lembut sang hantu bencana menyentuh punggung tangan sang dewi.

Mengamati ekspreksi sang gadis, bukannya wajah memerah, yang didapati oleh pemuda itu malah wajah datar seperti kulkas 10 pintu. Memang sedari dulu (Y/n) adalah orang seperti ini. Jika seseorang yang sensitif ditegur olehnya, kemungkinan orang itu akan merasa tersindir oleh wajah datar (Y/n). Padahal sebenarnya teguran itu datang dari hati sang gadis

"Jie, aku akan pergi sekarang. Hua Cheng mohon jiejie untuk jaga diri," ujar sang pemuda menurunkan tangan sang gadis, menatap matanya dalam. "Kamu tidak perlu khawatir tentangku, pergilah." Seketika, tubuh sang hantu bencana bubar menjadi ratusan kupu-kupu perak indah.

𝑌𝑜𝑢𝑛𝑔 𝐺𝑜𝑑𝑑𝑒𝑠𝑠 Where stories live. Discover now