Menebang Bambu Kuning

6 1 0
                                    

"Jam berapa janjinya sama Cika dan Eno?" Tanya Arya pada Sandy ketika sudah hampir setengah jam mereka menunggu dua cewek centil itu di kursi kayu di bawah pohon asam Jawa yang lumayan besar dengan daunnya yang rimbun.

"Semalam janjinya jam sepuluh, sekarang sudah hampir jam sebelas," jawab Sandy sambil makan jambu klutuk yang tidak jauh dari pohon asam Jawa tempat mereka duduk. "Nah, tuh mereka datang!" Tunjuk Sandy ke arah Cika dan Eno yang muncul berboncengan dengan sepeda berwarna pink.

"Pada ngapain di sini? Nungguin kita berdua ya?" Sapa Cika cekikikan bersama Eno sambil menaruh sepedanya di batang pohon asam.

"Janji jam sepuluh munculnya jam sebelas! Dasar jam karet!" Arya berkata sedikit kesal.

"Kami bantu ibu kami memasak dulu baru boleh pergi main." Begitu alasan yang Cika berikan. Kemudian mereka berjalan menuju ke sebuah rumpun bambu kuning yang tinggi dan rimbun berjarak sekitar dua puluh meter dari tempat mereka. Rencananya mereka akan menebang beberapa bilah pohon bambu untuk membuat tugas prakarya dari sekolah.

Mereka berjalan dan kemudian berhenti di samping pohon bambu kuning yang rimbun, di sebelahnya ada sungai kecil dengan arus airnya yang tidak begitu deras.

"Pohon bambu ini punya siapa Arya? Lebih baik kita permisi dulu sama yang punya baru kita tebang nih pohon," ujar Cika pada Arya.

"Kamu tahu San, siapa pemilik pohon bambu ini?" Arya malah bertanya pada Sandy yang juga mengangkat kedua bahunya tanda ia tak tahu siapa pemiliknya.

"Mungkin pemilik rumah tua itu yang punya pohon bambu kuning ini," ujar Eno sambil menunjuk ke arah rumah tua yang merupakan satu-satunya rumah yang ada di dekat pohon bambu ini. Semuanya menoleh ke arah rumah tua yang dimaksud oleh Eno. Sebuah rumah tua berlantai dua dengan jendela tertutup dengan dinding kayunya yang kelihatan mulai rapuh tanpa cat dengan sebuah jendelanya terbuka tanda tak berpenghuni.

"Yakin mau minta izin sama pemilik rumah tua itu?" Cika bertanya sedikit ragu kalau mereka akan berani mengetuk pintu rumah itu karena sepertinya rumah itu kelihatan tak berpenghuni dan terlihat angker.

"Sudah! Kita ambil saja beberapa bilah pohon bambu ini terus kita segera pergi dari sini!' ajak Sandy.

"Itu sama saja dengan mencuri San. Aku nggak mau kalau harus mencuri!" Eno menolak ajakan Sandy.

Akhirnya Sandy dan Arya memutuskan untuk meminta izin pada pemiliknya rumah tua itu. Beberapa kali mereka berdua mengetuk pintu dan memberi salam namun tak juga ada jawaban. Arya mengintip dari celah kayu dinding rumah tua itu, sekilas nampak suasana di dalamnya yang gelap dan menyeramkan!

"Tidak ada orang satu pun di dalam! Kita ambil saja empat bilah bambu untuk kita berempat!" Arya dan Sandy segera menjauh dari rumah itu yang auranya membuat bulu kuduk merinding kemudian mereka menebang batang pohon bambu yang sesekali berayun ditiup angin.

Kraaak!

Bunyi patahan pohon bambu yang jatuh ke tanah. Cika dan Eno membantu memotong ranting bambu yang kecil kemudian menariknya ke jembatan kecil di atas sungai dengan pohon dan semak di kanan dan kirinya. Di atas jembatan itu mereka memotong dan membersihkan batang bambu itu. Mereka akan membuat kipas dari bambu dan kain sesuai dengan ide mereka sendiri.

"Laper nih, tapi mau pulang ke rumah tanggung. Ada yang bisa dimakan ngggak?" Cika mengeluh perutnya yang sudah keroncongan.

"Tuh! Buah jambu. Ambil aja! Yang punya pasti pemilik rumah tua itu juga," ujar Arya.

Cika dan Eno tanpa menunggu lama segera memanjat pohon jambu di tepi sungai itu, memetik buah jambu yang ranum dan segera memasukkannya ke kantong bajunya. Mereka turun setelah buah jambu yang dipetik sudah cukup untuk mereka berempat.

Hari sudah beranjak senja saat tugas prakarya yang mereka buat sudah selesai.

"Eno Kamu kenapa?" Cika bertanya pada Eno yang tiba-tiba lebih banyak diam dan nampak seperti ketakutan.

"Aku takut ... Ada nenek itu! Ayo kita pulang saja," ucap Eno ketakutan sambil menunjuk rumah tua itu.

"Nenek? Nenek mana?" Cika mulai khawatir. "Tidak ada seorang nenek pun di sana!" Cika mencoba menenangkan Eno.

"Ada Cika, itu dia berdiri di muka pintu dengan matanya yang menatap tajam ke arah kita!" teriak Eno mulai panik! "Mukanya keriput dengan rambut putih yang digelung ke atas kepalanya! Ayo Arya! Sandy! Cika! Kita lari!" Eno kembali berteriak dan bersiap menarik tangan Cika. Sejenak Arya, Sandy dan Cika memandang ke arah rumah tua itu berharap nenek yang Eno bilang tadi benar adanya namun sekali lagi nihil! Hanya Eno yang bisa melihat nenek itu! Cika meraih tangan Eno dengan cepat berlari mengambil sepedanya dan mengayuhnya secepat mungkin! Arya dan Sandy pun ambil langkah seribu duluan sambil membawa hasil prakarya yang belum sepenuhnya selesai mereka buat. Begitu sampai di rumah Eno langsung masuk ke kamar dan berbaring di tempat tidur sambil memeluk bantal guling dan menutup wajah dan matanya dengan tangannya.

"Kamu kenapa Eno? Badanmu sedikit panas. Sebentar ibu ambil obatnya," ujar ibu Eno menyentuh dahi Eno.

"Tadi Eno ketakutan Bu ketika melihat seorang nenek tua di rumah kosong di sebelah sana," jelas Cika. "Tapi kami bertiga tidak melihatnya, cuma Eno yang bisa melihatnya," tambah Cika. Kemudian Cika pamit pulang pada ibunya Eno.

Sejak hari itu Eno seperti dihantui rasa takut yang dia sendiri juga tak mengerti mengapa dia menjadi ketakutan. Eno selalu menutupi kedua mukanya dan hanya membuka sedikit sela jari tangannya untuk dapat melihat. Dalam pikirannya semua jadi tampak mengerikan, melihat pohon belimbing dari jendela rumahnya yang ada di khayalannya ada sosok hantu perempuan yang sedang duduk bermain di dahan pohonnya hingga ia tak mau melihat ke arah sana.

"Eno, itu ada Cika sedang menemani kamu nonton sinetron kesukaan kalian kenapa kamu malah menutup wajahmu dengan tangan?" Tanya ibu Eno. "Jangan takut! Di sini ada ibu dan ada temanmu Cika," sambung ibu Eno.

Malam harinya lebih parah lagi Eno tak bisa tidur nyenyak. Dia akan mengantuk dan tidur lebih awal tepatnya selepas Maghrib dan akan terbangun tengah malam ketika anggota keluarga lainnya baru saja tertidur. Bayangan ketakutan membuat mata Eno terjaga dan sulit untuk tidur kembali. Eno akan membangunkan siapa saja yang tidur di dekatnya.

"Bu, bangun Bu! Jangan tidur! Eno takut Bu!" Panggil Eno di sela rasa takutnya yang mulai merambah perasaannya malam itu. Ada saja yang dia dengarkan seperti derap langkah kaki di lantai rumahnya yang terbuat dari papan dengan anak tangganya membuat Eno benar-benar takut dan memeluk ibunya dengan sangat erat! Kondisi Eno tersebut membuat ibunya prihatin dan membawanya berobat ke dokter spesialis penyakit dalam. Ibunya takut rasa takut yang berlebihan pada Eno berpengaruh pada kondisi kesehatannya walaupun kadang terngiang dipikiran ibunya apakah semua ini terjadi karena Eno dan temannya menebang dan mengambil bambu tanpa izin dari pemiliknya?

TENTANG HORORWhere stories live. Discover now