1. Awal Mula

91 9 5
                                    

Tergesa-gesa dengan raut senang, nyonya rumah tersebut yang bernama Kirana membuka pintu. Mukanya kentara ceria saat melihat kedua putra tingginya sudah sampai dirumah.

"Bu." Sapa kedua laki-laki bertubuh tegap itu.

Kirana membiarkan kedua putranya mencium tangan. Usai dengan kesopan santunan, ketiganya masuk kedalam rumah setelah Kirana menutup pintu.

"Bapak mana Bu?" Tanya si bungsu mendaratkan dirinya diatas sofa.

"Lagi ke toilet tadi. Paling bentar lagi selesai. Tuh kan." Semua pasang mata tertuju pada sosok pria yang lebih tua tengah berjalan menghampiri keluarga kecilnya.

Sadewa dan Arkasa turut mencium tangan Ayah mereka, Haris.

Tatapan bangga selalu terpancarkan dari pria berstatus Rektor itu pada sang anak, Sadewa.

Sedangkan Arkasa? Ada jarak yang tercipta antara dirinya dengan Haris. Hubungan mereka renggang saat Arkasa menolak untuk masuk ke lingkup pendidikan seperti jejak Ayahnya. Arkasa tahu, bagi Haris, ia adalah anak yang gagal dididik. Berbeda dengan adiknya-Sadewa menempuh profesi yang sama dengan Ayah mereka.

"Gimana ngajar dikampus kamu? Ada kendala apa nggak?" Tanya Haris condong ke Sadewa seolah menganggap Arkasa tidak ada disana.

Sadewa tahu akan hal tersebut, ia melirik Arkasa sekilas sebelum akhirnya menjawab. "Mboten, pak. Udah mulai nyesuain dan nyaman."

"Kamu nggak mau masuk ke kampus Bapak? Nanti bapak rekomendasiin langsung. Bapakmu iki Rektor loh."

Sadewa geleng sembari tertawa. "Nggak Pak, nggak mau nanti dibilang jalur orang dalem."

"Weleh, siapa yang berani bilang gitu? Ndak ada yang berani sama Bapak." Sahut Haris yang sangat menyayangkan keputuan Sadewa karena tidak ingin sekampus dengannya. Padahal dengan jabatannya sebagai seorang Rektor, pasti sangat mudah untuk meloloskan Sadewa mengajar disana.

"Dewa udah nyaman ngajar dikampus sekarang, ada temen mas Arka juga yang sering bantuin."

Mengernyit, raut muka Haris langsung berubah masam. "Emang kamu ndak bisa sendiri? Piye toh? Dimana-mana yang namanya ngajar ya harus berjuang dan belajar sendiri, nggak bisa dibantuin."

"Bukan bantuin kayak gimana-gimana Pak. Cuma ngasih wejangan biar bisa deket sama mahasiswa."

"Lah lah lah, kok makin ngawur kamu. Kenapa nggak nanya ke bapakmu iki? Orang bapak juga bisa ngajarin kok."

Suasana mendadak tidak enak.

"Udah toh Mas. Kan niatnya baik. Ya bagus juga toh dapet temen yang mau bantuin?" Relai Kirana berusaha menenangkan Haris.

"Yo ndak bisa bu. Wong kalo kayak gitu terus, nanti dia gak iso kalo nggak ada temennya. Masa mau deket sama mahasiswa aja perlu diajarin." Haris masih berkelut. Entah memang itu ditujukan demi kebaikan Sadewa, atau mungkin karena ketidaksukaannya saat mendengar nama Arkasa tadi?

Bangkit mendadak, ketiga orang disana berpaku pada Arkasa yang tiba-tiba berdiri.

Arkasa yang diam sejak tadi, akhirnya berbicara. "Arka ke kamar dulu bu, mau naroh barang."

Kirana yang sempat termenung beberapa detik langsung jawab cepat. "I-iya, ibu udah masak buat makan siang juga. Abis itu turun makan bareng ya."

Tanpa banyak basa-basi, Arkasa melenggang begitu cepat saat Haris menatapnya tidak senang.

***

Arkasa melempar tas bawaannya ke ranjang, selanjutnya ia melempar dirinya juga.

Helaan napas terdengar kasar. Dalam dua minggu sekali, ia diharuskan pulang bersama Sadewa. Sebenarnya jarak rumah orang tua mereka tidak terlalu jauh karena rute Jakarta Barat-Jakarta Selatan. Hanya saja, melelahkan jika harus bolak balik setiap hari. Apalagi ditambah macet Jakarta yang sangatlah kacau dan bisa menyita banyak waktu. Bayangkan, jarak normal yang seharusnya bisa ditempuh dalam 20 menitan- malah membutuhkan waktu hampir satu jam. Parahnya kalau pagi saat berangkat kerja dan sore pulang kerja.

TAUTANWhere stories live. Discover now