11. Sakit

54 11 0
                                    

Nadine terbaring dalam lelap damai. Keadaan gadis itu sudah membaik. Syukurnya ia diantar dengan tepat waktu ke rumah sakit, telat sedikit saja- bisa fatal karena Nadine divonis dokter mengalami usus buntu kritis yang mengharuskannya di operasi darurat.

Kamar yang sedang ditempati Nadine sekarang adalah ruang VIP, dimana hanya Nadine lah satu-satunya pasien didalam ruangan. Tentu saja Arkasa yang memesan kamar ini demi kenyamanan si gadis.

Arkasa duduk menghadap ke Nadine. Sedari tadi menunggu gadis tersebut siuman dari tidur biusnya.

Muka pucatnya masih tersisa walau kondisi berangsur stabil. Kelopak dengan bulu mata lentik itu menutup tenang. Seperti malaikat pikir Arkasa.

"Permisi Pak."

Arkasa menoleh pada suster yang memasuki ruangan.

"Untuk barang pasien saya kembalikan ya, mau taruh dimana Pak kira-kira?"

"Ke saya aja sus."

"Baik, ini ya Pak. Boleh di cek kembali, kalau masih ada yang kelewat boleh ke depan ya."

"Oke sus, makasih banyak."

"Sama-sama, saya permisi ya." Pamit suster yang diangguki oleh Arkasa.

Setelah kepergian suster tadi, barulah Arkasa menyimpan barang-barang Nadine ke atas meja. Ketika ia hendak kembali duduk, badannya membalik dan tangan kekar itu mengambil sebuah kalung berliontin kupu-kupu terbungkus plastik transparan. Arkasa menelisik bagian lontinnya dengan seksama. Rasa-rasanya tidak asing, Arkasa seperti dejavu.

Potongan-potongan memori seorang gadis langsung muncul di otaknya, bayangan gadis itu kusut dan tidak jelas. Fokusnya hanya ada di liontin kupu-kupu. Arkasa mencoba mengingat, namun hasilnya nihil.

Pintu kamar kembali terbuka, kali ini yang masuk adalah Raya, Irina dan Nata disusul oleh Haris, Kirana dan Sadewa. Arkasa menaruh kalung kembali keatas meja, lalu menuju ke samping sang ibu.

Tadi Sadewa ingin menghubungi keluarga Nadine, namun dia tidak punya contact keluarga gadis itu, makanya Sadewa menelvon Kirana untuk mengabari keluarga Nadine. Barulah mereka semua bisa datang kesini.

Irina yang pertama duduk disisi ranjang. Ia mengambil tangan Nadine dan mengelus pelan, menatap putri tercinta dengan perasaan sedih dan menyayat. Begitu mendengar kalau Nadine akan di operasi, hatinya seketika hancur lembur.

"Makasih udah nyelametin anak saya." Tutur Raya menepuk bahu Arkasa beberapa kali.

"Nggih Pak."

Haris melirik sekilas pada adegan barusan. Kemudian ia kembali fokus melihat Irina yang tengah menangisi Nadine.

"Kakakmu udah sehat kok, jangan nangis lagi ya." Ucapan Sadewa pada Nata- menarik atensi Arkasa untuk memandangi mereka.

Bocah yang tingginya hanya selutut Sadewa- menangis dan terisak. "Kak Nadine pasti sakit ya Om?"

Entah kenapa alih-alih dipanggil 'Kak', Sadewa malah dipanggil 'Om'. Hal tersebut membuat Sadewa terenyuh dibanding tersinggung, ia merasa seperti memiliki ponakan sungguhan.

Sadewa jongkok untuk menyamakan tinggi mereka. "Iya sakit, tapi sekarang udah nggak. Sakitnya uda dibuang sama dokter."

Nata beralih pada Nadine. Sesekali ia sesunggukkan. Lelaki mungil itu menatap Sadewa kembali.

TAUTANWhere stories live. Discover now