BAB 06

10.7K 592 9
                                    

yok bisa yok ramaikan part ini, 40an vote buat part selanjutnya, hehe.

...........................................

"Bapak, boleh minta air? Sena haus."

"Mau air?"

Sang balita mengangguk-angguk semangat.

Atmaja lekas bangun untuk bergerak ke arah dispenser yang berada di ujung ruangan.

Langkahnya tentu cukup gesit, hingga dalam hitungan detik sudah dapat membawakan segelas air untuk balita laki-laki itu.

Atmaja pun takjub melihat betapa cepatnya bocah cilik itu menghabiskan air di gelas.

Seperti benar-benar haus.

"Terima kasih, Bapak."

"Sama-sama, Assena."

Atmaja merasakan dentuman aneh di dada mendengar ucapan balita bernama Assena Kesnapati ini. Nada yang tulus dan polos.

Apalagi ditambah senyuman lucu.

Hatinya bergetar seketika. Perasaan menjadi semakin aneh karena kehadiran sang bocah.

"Mau tambah air lagi, Nak?"

"Tidak, Bapak."

Balita laki-laki itu kembali mengemut lolipop dipegang sembari masih menampakkan binaran senang pada sepasang netra jernih warna cokelat yang terus memandanginya.

Mata balita ini mengingatkan dirinya pada seseorang karena tampak tidak asing.

"Uncle ke mana, Bapak?"

"Uncle?" Atmaja bertanya seraya memahami siapa tengah dimaksud oleh sang bocah.

Sepertinya merujuk pada Kenneth.

"Uncle sedang ke kamar mandi."

Balita laki-laki itu pun mengangguk, mungkin sudah mengerti jawaban disampaikannya.

Atmaja ingin lebih banyak bercakap-cakap dengan Assena. Kelucuan bocah ini seperti menjadii angin segar untuk suasana hatinya yang tengah lumayan buruk hari ini.

"Assena umur berapa?"

Atmaja melontarkan pertanyaan sederhana.

"Empat tahun, Bapak."

Suara sang bocah menggemaskan untuknya.

"Assena sudah sekolah, Nak?"

"Sudah, Bapak."

Atmaja diam. Informasi yang ingin didapatkan sudah dijawab oleh balita laki-laki itu.

"Sena jatuh main kejar-kejar dengan teman."

"Siku Sena luka, tapi Sena tidak menangis."

"Siku mana yang luka, Nak?" Atmaja masih terus memfokuskan atensi pada bocah kecil, perhatiannya kian terhipnotis.

"Yang ini, Bapak."

Assena menunjuk pada bagian lengan kanan bawah, ada beberapa memar ringan.

Atmaja langsung menggerakkan jari-jarinya ke sana untuk memeriksa.

"Mau Bapak pakaikan plester? Supaya tidak sakit."

"Iyah, Bapak."

Atmaja bergegas berjalan ke arah mejanya, membuka salah satu laci yang digunakan menaruh perlengkapan obat-obatan.

Setelah menemukan benda dicari, Atmaja kembali ke sofa.

Memasangkan lantas penutup luka pada siku Assena yang memar. Dalam hitungan detik pula dapat diselesaikan olehnya.

"Terima kasih, Bapak."

"Sena pintar tidak menangis waktu jatuh." Atmaja memuji tulus seraya membelai-belai lembut rambut sang bocah.

"Mamah Cantik berpesan Sena tidak boleh menangis kalau jatuh."

"Mamah Cantik?" Atmaja merujuk pada penyebutan Assena yang unik didengarnya.

"Iyah, Bapak. Mamah Cantik Sena."

Saat sadar pintu ruangannya dibuka dari luar, Atmaja lekas saja mengalihkan pandangan ke sana. Dikira sang nenek sudah tiba, namun yang masuk ke dalam justru Kenneth.

Sang sahabat berjalan tergesa-gesa ke arah sofa tempat dirinya dan Assena duduk, pria itu seperti tengah diburu oleh sesuatu. Wajah juga tampak tegang.

"Gue mau bicara."

"Soal apa?" Atmaja bertanya lewat nada menyelidik.

"Ada anak kecil, kita bicara di sana, Bro."

Atmaja menunjukkan kesetujuan dengan lekas mengikuti Kenneth yang berjalan menjauh, tepatnya ke arah salah satu jendela dekat balkon.

"Lo yakin mau bunuh dia?"

Ternyata, masalah mantan istri jalangnya akan dibahas.

Tak diberikan balasan lain, hanya berupa anggukan kecil yang dilakukan sekali.

"Lo gila? Bunuh orang bisa di penjara lo."

"Sebenci apa lo sama dia?" Kenneth masih memelankan suara agar tak sampai didengar oleh sosok kecil Assena, walau mulai meradang karena reaksi sang sahabat.

Atmaja tidak memberikan keterangan seperti diinginkannya.

"Andai lo benar-benar benci dia, saran gue mending lo hancurkan hidup dia, bukan main bunuh. Gue rasa itu lebih bagus."

"Harus gue hancurkan hidup jalang itu seperti apa?"

Kenneth diam, tak bisa langsung menyahut karena tak dimiliki jawaban. Apalagi, kalimat-kalimat provokasi dilontarkan tadi bukan idenya.

Ya, sang adik yang menyuruhnya.

Regina sendiri menerima perintah langsung dari Sayana.

Sungguh, Kenneth penasaran apa yang sebenarnya direncanakan oleh mantan istri dari sahabatnya itu? Kenapa Sayana memperumit keadaan?"

Padahal, selama tiga tahun terakhir, wanita itu sudah membantu Atmaja secara diam-diam untuk bangkit dari kebangkrutan dengan cara mengucurkan dana investasi bernilai milyaran rupiah ke perusahaan sang sahabat memakai namanya.

"Pak Atmaja?"

Panggilan berasal dari sekretaris sang sahabat, berdiri tepat di depan pintu, pasti ingin menyampaikan pesan pada Atmaja.

"Nyonya Lalitha akan tiba dalam waktu sepuluh menit."

"Baik." Atmaja mengiyakan. Ia sudah menunggu neneknya sejak dua jam lalu.

Sementara itu, Kenneth semakin tegang setelah mendengar kabar kedatangan Lalitha Wedasana. Berusaha memikirkan cara pergi dari kantor kawannya karena Assena tak boleh berjumpa dengan anggota keluarga lain dari Wedasana yang mungkin akan mengenali siapa bocah itu.

Identitas Assena masih harus dirahasiakan.

"Gue cabut dulu. Gue ada rapat sama kolega."

Tanpa menunggu respons sang sahabat, Kenneth berjalan dengan tergesa-gesa ke arah Assena. Lalu, bergegas menggendong balita laki-laki itu.

"Kita pulang." Kenneth berbisik di telinga kanan sang bocah.

Reaksi Assena hanya berupa anggukan-anggukan, sedangkan atensi balita itu belum berpindah dari sosok Atmaja yang tengah berjalan mendekat.

Tangan mungilnya dilambai-lambaikan dengan ekspresi ceria. "Dadahh, Bapak!"

Mantan Suami AntagonisWhere stories live. Discover now