BAB 25

10.2K 509 6
                                    


"Papa, nggak boleh ngebut, yah. Sena takut."

"Iya, Nak, Papa akan pelan-pelan."

"Oke, Papa, hahaha."

Gelakan kencang sang buah hatinya seperti menular, sehingga Sayana juga ikut tertawa.

Belum lagi binaran bahagia yang tampak jelas di netra polos Assena, hati ibu mana tak akan bahagia melihat anak kesayangan ceria.

Selama beberapa jam waktu telah dihabiskan sang putra dengan suaminya, Sayana merasa bersyukur bisa ikut dalam semua kegiatan yang dilakukan oleh keduanya.

Mulai dari belanja dan makan di mall, lantas sore ini dilanjutkan aktivitas bersepeda seperti yang telah dijanjikan Atmaja ke anak mereka.

Sang suami bahkan membeli sepeda khusus yang berisi tempat duduk di depan dan juga boncengan. Harganya jelas lumayan mahal karena berasal dari merek internasional.

Atmaja tentu tidak akan perhitungan untuk mengucurkan uang demi membuat putra kecil mereka senang, namun kedepannya tetap harus diberikan batasan dalam berbelanja.

Sayana juga enggan memanjakan Assena. Ia sudah berprinsip akan mengajarkan hidup yang disiplin dan hemat ke putranya itu.

"Cepat gas, Papa!"

"Sena mau naik sepeda!"

Seruan-seruan penuh semangat dari buah hati mereka, tentu semakin menggemaskan. Sayana dan juga Atmaja kompak tertawa.

Assena memang pandai bertingkah yang lucu, apalagi saat antusias dengan suatu olahraga, seperti bersepeda contohnya.

"Iya, Nak, kita gayuh sepeda sekarang."

"Yeeyy!"

"Helm bagaimana Sena? Sudah bagus Sena pakai? Atau masih longgar, Sayang?" Sayana yang giliran memastikan kondisi putranya.

Walau hanya bersepeda, Assena tetap harus mengenakan pelindung kepala demi aman.

"Sudah, Mamah."

Saya mengecek kembali helm digunakan oleh sang putra dengan benar, sebelum atensinya dipindahkan ke sang mantan suami.

Sedari tadi, telah disadarinya tatapan pria itu yang terus tertuju pada dirinya. Tapi mereka tidak bisa saling berkontak mata karena ia sibuk mempersiapkan Assena bersepeda.

"Mas masih ingat cara naik sepeda?" Sayana pun memulai percakapan dengan Atmaja.

Setahunya, sang suami tidak cukup pandai sebab sudah sangat lama tak bersepeda. Ada sedikit kecemasan yang dirasakan, tentunya.

Namun, tak mungkin juga untuk membatalkan disaat Assena sudah sangat bersemangat.

"Sena yang kuat pegangan biar nggak jatuh, mengerti, Sayang?" Sayana mengingatkan kembali buah hati terkasihnya.

"Iyah, Mamah."

"Sena akan pegang kuat dan nggak jatuh."

Sayana dibuat tertawa kembali oleh celotehan jagoan kecilnya. Gaya bicara Assena yang lucu dan begitu semangat, sudah pasti dapat menghiburnya berulang kali.

Dicium salah satu pipi tembam sang putra.

"Sena anak yang pintar."

Tawa Assena keluar lebih kencang karena senang menerima pujian manis sang ibu. Balita itu semakin tak sabar ingin bersepeda.

"Ayo, cepat, Papa!"

"Iya, Nak."

Selesai membenahi posisi duduk sang putra sekali lagi, Atmaja mulai mengayuh sepeda.

Tawa Assena semakin kencang didengar. Anak kesayangannya seperti begitu senang akhirnya bisa bersepeda bersama dirinya.

Atmaja berkeliling hanya di halaman belakang rumah yang memang lumayan luas, sehingga bisa dijadikan arena bersepeda.

Direncanakan lima putaran dulu.

Dengan kayuhan cukup cepat, dalam waktu beberapa menit, sudah dapat diselesaikan.

Atmaja kemudian memberhentikan sepeda di depan sang istri, lalu mengulurkan tangan.

Sayana langsung memerlihatkan sorot mata bingung karena tak paham dengan aksi dari Atmaja. Pria itu juga tidak berkata apa-apa.

Yang ada hanya tersenyum lebar.

"Mas mau ngapain?" tanya Sayana lalu. Tentu harus dikonfirmasi agar menjadi jelas.

"Ajak kamu bersepeda juga, Mama Assena."

"Naik di sini." Atmaja menunjuk boncengan di belakang sepeda dengan tangannya.

"Aku ikut naik sepeda? Aku berat, Mas."

"Masih bisa aku tangani." Atmaja menjawab ringan karena baginya memang tak masalah bobot tubuh Sayana. Bisa diatasinya.

"Ayo, ikut, Mamah!"

"Naik, Mamah, naik!"

Sayana tidak tega jika Assena yang sudah meminta. Ia pun lantas naik ke belakang sepeda. Duduk menyamping di boncengan dengan tangan melingkar di pinggang sang suami agar terhindar dari hal tak diinginkan.

Sang suami lekas mengayuhkan sepeda. Dan tawa cekikikan Assena keluar lagi. Jagoan kecilnya benar-benar sedang bergembira.

Mereka pun mulai bertiga memutari halaman rumah, seperti yang Atmaja lakukan tadi.

Dan pada putaran ketiga, harus dihentikan kegiatan bersepeda karena sosok Lallitha Wedasana yang muncul di rumah Atmaja.

Sayana tentu paling kaget, apalagi tak diduga jika nenek sang suami akan datang begitu cepat dari perkiraan telah dibuatnya.

Lalitha Wedasana menghampiri mereka.

Sayana seketika mengambil sikap siaga. Tak mau kejadian buruk sampai menimpa buah hatinya, andai Lalitha akan bertindak jahat.

Namun, yang dilihat justru sebaliknya.

Ya, nenek dari sang suami, memeluk Assena dengan erat. Sayana turun mendengar apa saja yang dibisikkan oleh Lalitha Wedasana pada jagoan kecil kesayangannya.

Tentu bisa ditarik kesimpulan jika nenek sang suami menerima baik kehadiran Assena.

Sang putra pun tampak tak takut. Malahan mengeluarkan tawa renyah karena riang akan kasih sayang yang baru didapatkan.

Sayana sedikit bernapas lega.

"Nenek akan menjadikan Assena sebagai pewaris baru keluarga kita, Maja."

Karena diucapkan dalam suara cukup keras, sudah pasti telinga Sayana dapat menangkap perkataan Lalitha Wedasana pada Atmaja.

...............................................

Yuhuuu, ditunggu vote dan komen.

Mantan Suami AntagonisWo Geschichten leben. Entdecke jetzt