BAB 28

8.5K 446 7
                                    


Sayana yang terus menahan tatapan pada pintu ruang tunggu rutan, menghela napas tiba-tiba saat benda tersebut membuka.

Ketegangan menyerangnya luar biasa.

Apalagi, ketika sang penjaga membawa ibu kandungnya masuk ke dalam ruangan.

Sayana tak semakin nyaman duduk, namun ia enggan juga mendekati orangtuanya untuk sekadar menyapa atau memeluk.

Rasa rindu Sayana tak sebesar itu. Ia masih menyimpan kemarahan atas perlakuan keji dilakukan oleh ayah dan sang ibu.

Terutamanya, lima tahun silam, manakala merencanakan aborsi untuk calon anaknya, setelah meminta bercerai dari Atmaja yang telah dibuat bangkrut oleh mereka.

Sejak itu pula, hubungan kekerabatan dengan kedua orangtuanya memburuk. Tak lagi ada komunikasi pula sejak pindah ke Kanada.

Walau tidak saling berjumpa, Sayana tentu masih menyewa informan untuk mengawasi orangtuanya dan kiprah mereka sebagai politikus yang merangkap anggota dewan.

Pada akhirnya, diketahui beberapa kasus melibatkan ayah dan juga sang ibu.

Sayana merasa tak bisa diam saja. Ia harus menolong orangtuanya semarah apa pun dirinya karena keegoisan mereka.

Namun setelah dipikirkan ulang dari berbagai sudut pandang, tak layak ayah dan ibunya menerima pemotongan masa hukuman.

Mengingat, sudah banyak kerugian negara yang diakibatkan oleh ketamakan mereka.

Patut dijerat dengan vonis seharusnya. Dan tentu dana-dana telah dikorupsi juga harus dikembalikan sesuai aturan hukum.

"Mau apa kamu datang ke sini?"

Sang ibu yang mengeluarkan pertanyaannya. Nada sinis dan tatapan tajam dilemparkan padanya, sebelum memilih duduk di kursi.

Sayana tak lekas menjawab, walaupun sudah menyusun kalimat balasan untuk sang ibu.

Sayana lebih dulu memberikan kotak-kotak makanan yang berisi menu-menu favorit sang ibu, dibelinya di restoran langganan mereka.

"Saya tidak butuh!"

Sayana sudah menyiapkan dirinya menerima penolakan dari sang ibu, namun tetap tidak menduga jika akan diteriaki dengan kencang.

Untung makanan-makanan dibawanya tak dilempar oleh sang ibu karena marah.

"Gimana kabar Mama?" Sayana mencoba tuk memulai percakapan bersama orangtuanya.

"Kamu bertanya bagaimana kabar saya? Apa kamu lihat saya dalam kondisi yang baik?"

Sayana memilih diam. Jika bicara, maka ia akan mudah terpancing oleh ucapan ibunya yang mengandung provokasi sangat jelas.

Kesunyian lantas terjadi. Namun, Sayana tak memalingkan barang satu detik pun wajah dari orangtuanya. Tetap memandang lekat.

Masih melihat bagaimana respons yang akan selanjutnya ditunjukkan oleh sang ibu atas kedatangannya. Kemarahan sudah tampak nyata diperlihatkan padanya sekarang.

"Apa tujuanmu datang?"

"Aku ingin menjenguk Mama. Apa tidak boleh aku datang sebagai anak Mama?"

Sang ibu tertawa sinis. Tatapan pun semakin nyalang seperti ingin membunuhnya.

"Saya sudah tidak pernah menganggap kamu dan Sanji sebagai anak saya dan Mas Yoga."

"Kalian berdua sudah kami anggap mati."

Sayana mulai kehilangan kesabaran. Tentu merasa tersinggung dengan ucapan-ucapan sang ibu yang sangat kasar dan mengutuk.

Kenapa orangtuanya belum juga berubah? Padahal, jeratan kasus suap dan korupsi ini, bisa dijadikan pembelajaran bagi mereka.

Namun ibunya seperti tak jera sama sekali.

Sang ayah mungkin sama. Ia belum dapat bertemu langsung karena permintaan untuk berkunjung ditolak oleh ayahnya.

"Pergi dari sini, saya benci melihatmu."

Sayana tetap bergeming di tempat duduk dan mengarahkan pandangannya tepat ke mata sang ibu yang masih begitu tajam menatap.

Sayana jelas tak akan menuruti perintah dari orangtuanya karena urusan belum selesai. Ia harus menyampaikan semua yang sudah direncanakan untuk diberitahukan.

Dan inilah saatnya bicara.

"Aku tidak akan membantu Mama dan Papa lepas dari kasus ini. Kalian akan mengikuti proses hukum sebagaimana seharusnya."

"Tapi, aku, Sanji, dan Sarasa akan berusaha menyewakan pengacara terbaik di negeri ini untuk mengurangi vonis hukuman kalian."

"Dan walaupun Mama sama Papa tidak mau menganggap kami anak-anak kalian lagi, tapi kami akan tetap berbakti dengan kalian."

"Kebutuhan apa pun yang Mama dan Papa perlukan selama di sini, akan kami tanggung."

Sayana langsung menarik napas yang cukup panjang, setelah bicara. Ia butuh mendapat ketenangan kembali dan tak boleh emosi.

Dari sudut pandangnya, tentu rahang wajah sang ibu yang semakin mengeras, dapat dijadikan indikasi betapa marah orangtuanya atas semua sudah dirinya katakan.

Dan Sayana belum selesai.

"Ada satu rahasia lagi harus Mama tahu."

Sayana menegakkan punggung dalam posisi duduk yang tambah membuatnya kurang nyaman karena suasana kian tegang.

"Selain putri Sanji masih hidup, calon anakku yang dulu Mama suruh gugurkan, berhasil aku selamatkan dan aku lahirkan."

"Nama anakku Assena Kesnapati. Dia sudah berusia empat tahun sekarang. Dia cucu laki-laki pertama di keluarga kita, Ma."

"Nanti setelah Sena cukup umur, aku akan ajak dia ke sini bertemu Mama dan Papa."

Sayana melihat raut keterkejutan yang begitu kentara pada wajah sang ibu. Sudah pasti akan kaget bukan main mendengar kabar darinya. Ia pun sudah memprediksinya.

Sebelum situasi menjadi lebih rumit, Sayana memutuskan akan segera mengakhiri waktu kunjungan dengan sang ibu hari ini.

Dan sebelum benar-benar pergi, Sayana pun mengeluarkan sebuah album foto yang berisi potret Assena dari bayi hingga usia empat tahun. Akan diberikan pada sang ibu.

Sayana meletakkan benda tersebut di atas meja. Baru kemudian mendekat cepat ke tempat sang ibu sedang duduk mematung.

Lalu, memeluk orangtuanya itu sepihak.

"Bagiku, Sanji, dan Sarasa, Mama juga Papa adalah orangtua kami. Kalian sangat berjasa membesarkan kami sampai bisa seperti sekarang. Aku tetap menyayangi kalian."

"Aku ingin Mama dan Papa bisa berubah. Tolong tinggalkan semua kerakusan kalian tentang uang dan juga kekuasaan."

"Aku ingin mengenalkan putraku pada kalian sebagai nenek dan kakeknya yang baik nanti. Aku ingin Sena bangga dengan kalian."

Sayana disentak rasa haru mendadak. Dan sang ibu hanya tetap diam, tak memberikan respons apa pun atas permintaannya.

Sayana pun memutuskan untuk lekas pergi.

Namun, tiba-tiba tangannya diraih sang ibu. Mereka lantas berpandangan. Dapat dilihat mata orangtuanya berkaca-kaca.

"Maafkan Mama, Sayana."

Tanpa rasa sungkan, kembali dipeluk ibunya. Menangis bersama untuk menumpahkan semua kemelut perasaan mendera.

Satu yang pasti, Sayana tidak akan bisa terus membenci ayah dan sang ibu. Mereka tetap akan berharga di sepanjang hidupnya.

Mantan Suami AntagonisWhere stories live. Discover now