Satu

1.5K 165 4
                                    

Laras membenahi blus warna putih dan rok pensil yang ia kenakan untuk sesi wawancara di perusahaan retail toko serba ada  pukul sembilan itu.

"Silahkan masuk," seorang wanita muda berpenampilan rapi dengan rias wajah yang sempurna namun tak mencolok, muncul dari dalam ruangan. "Pak Suta sudah menunggu," ia tersenyum. Syukurlah, wanita itu bukan tipe bitch yang bersikap sok cantik dan sok penting di depan pegawai baru seperti Laras.

Ruangan itu didominasi warna abu- abu. Terkesan dingin dan kaku. Seorang pria pertengahan tiga puluh dengan tatapan tajam, duduk di balik meja kayu jati besar.

Sepasang mata tajam itu sempat membelalak dalam waktu sepersekian detik, ketika sosok sintal Laras muncul di ambang pintu. "Kamu boleh ke luar dulu, Lin..."

Perempuan yang dipanggil Lin itu mengangguk sebelum melangkah ke pintu dan menghilang di baliknya.

"Silahkan duduk," ujar pria itu. Nada bicaranya tegas. Tatapan matanya tajam dan seolah-olah penuh dengan prasangka. Jujur saja, membuat Laras agak gugup. "Larasati Kirana, betul?"

Perempuan itu mengangguk. Tegang. Endrasuta Wiratsana adalah perpaduan antara keangkeran sekaligus kesempurnaan. Wajahnya tampan. Rambutnya dipotong cepak dengan setelan hitam yang membalut tubuhnya dengan sempurna.

Memang tubuhnya tidak terlihat sekekar dan seatletis Gatra yang adalah gambaran pria metropolitan sejati dengan pesonanya yang melumpuhkan itu.

Ugh! Mengingat bosnya itu, hati Laras kembali merasa pahit. Getir. Gara- gara perbuatannya dengan Gatra, ia harus menguatkan hati untuk melepaskan Satria, kekasih yang telah cukup lama dipacarinya.

Mengingat hal itu, membuat suasana hati yang tadinya baik- baik saja, mendadak mendung. Namun begitu, ia tetap berusaha untuk tenang. Meminimalisir emosi yang terlihat di permukaan.

"Saya sudah baca CV kamu," ujar Suta, suara baritonnya begitu enak didengar. "Kamu pernah bekerja di HSS Goldeneye, betul?"

Laras mengangguk. Matanya menatap lurus ke arah mata calon atasannya itu. Dan sesungguhnya itu adalah kesalahan besar. Sepasang mata itu seperti kabut gelap yang tanpa ujung. Bersemburat penuh dengan luka. Kesengsaraan. "Kenapa kamu resign?"

Laras tidak langsung menjawab. Ia menautkan kedua tangannya. "Sudah tidak ada lagi kecocokan di lingkungan kerja saya, Pak." Jawabnya. Tegas. Ya, dirinya memang tidak mungkin bertatapan muka lagi dengan Gatra.

Ia tahu, tidak mungkin mengkhayalkan kebersamaan dengan atasannya itu. Faktanya, Gatra sudah beristri. Tak peduli bila sewaktu mereka melakukannya, kondisi pernikahan pria itu sedang tidak baik- baik saja.

"Tidak cocok dengan suasana kerja?" dahi pria itu berkerut. "Tapi kamu bisa bertahan sampai hampir dua tahun ya?"

"Saya memang butuh pekerjaan itu, Pak. Saya juga butuh uangnya. "

Sepasang mata itu kembali mengamati Laras lebih lama dari yang seharusnya.

Perempuan muda ini menarik. Secara fisik, dia memang punya kelebihan. Wajahnya tidak bisa dibilang sangat cantik, tapi cenderung manis. Kulitnya tidak putih, warnanya sawo matang, namun kelihatan terawat. Tak ada kesan binal di wajahnya. Bukan tipikal kecantikan yang membuat pria bisa hilang akal.

Namun Suta menyadari, beberapa pria memang tertarik dengan tipe perempuan seperti Laras ini. Tidak termasuk Suta tentu saja.

Mata perempuan itu sayu, sementara sepasang mata perempuan yang selalu Suta bayangkan kehadirannya selama ini adalah, sepasang mata yang berani dan bersorot menantang. Menggoda, dan jenaka.

Sepertinya, perempuan ini aman. Suta memutuskan untuk menerima Laras menjadi sekretarisnya yang baru, setelah sekretarisnya yang lama  menikah dan berhenti setelah melahirkan dua bulan yang lalu.

Miss Dandelion Where stories live. Discover now