Tiga Puluh Sembilan

2.5K 404 51
                                    

Laras baru saja hendak menjemur handuk yang baru ia gunakan untuk mandi, ketika mendengar suara-suara langkah kaki mendekat, sebelum suara Nuning muncul. "Bu, badan si dedek udah panas banget!" Nuning berseru panik.

"Panas? Sejak kapan?"

"Sejak tadi siang, Bu."

"Lha kamu nggak ngomong ke saya, Ning?" Laras tergopoh-gopoh masuk ke rumah. Aryan yang menangis bergulingan di atas matras  tebal di depan televisi. Kipas angin menyala. Jendela- jendela terbuka. Belakangan, Laras memang kerap meninggalkan bayinya dalam asuhan Ibunya, adiknya, atau Nuning. Padahal, banyak berita tentang kasus demam berdarah yang meningkat.

Ibu Laras sendiri sudah pulang ke Wates sehari yang lalu bersama adik- adiknya dan juga bapaknya. Hanya Ratih yang tinggal menemani Laras. Sekalian mau memenuhi beberapa interviu pekerjaan.

Laras meraba kening, leher, dan kaki anaknya. Panas. Bayi yang baru berumur kurang dari dua bulan itu terus menggeliat- nggeliat, Laras yang masih mengenakan daster segera menggendongnya. "Cup, cup, Sayang. Kenapa nangis terus? Ibu jahat ya? Pergi nggak ngajak- ngajak dedek? Cup, cup." Laras menimang- nimang bayinya.

Di tengah kekalutan menenangkan sang anak, Nur mendadak muncul dengan muka serbasalah. "Kenapa Nur?"

"Itu, Bu. Ada tamu. Katanya nyariin Bu Laras."

"Tamu? Siapa?"

Nur menggeleng pertanda dia juga tidak mengenali tamu Laras. "Lelaki, Bu. "

"Lelaki?"

"Mas- Mas gitu."

Aryan menjerit- jerit dalam gendongan Laras. "Astagfirullah, Nur, Mbak Ratih tadi ke mana ya?"

"Pergi Bu. Bawa mobil. Katanya mau ketemuan sama temannya."

Laras pun spontan merangsek ke depan. Ia tidak lagi ingat bahwa ia punya tamu. Tapi ketika kakinya menginjak teras rumah yang panas bukan main, tubuhnya membeku di tempat ketika mendapati seorang pria jangkung berdiri dalam balutan kaus oblong dan celana jin.

Pria itu tampak lebih kurus dari yang Laras ingat. Tapi dengan penampilannya yang sekarang, ia jauh terlihat lebih muda dan tetap ganteng seperti biasanya. Aryan kembali merengek. Saat itulah pria tersebut membalikkan badan. Tatapan mereka bertemu.

Keduanya sama-sama tertegun. Saling mengamati satu sama lain. Saling terpesona. Terkesima. Hingga jeritan Aryan membuyarkan momen yang sebetulnya amat magis itu.

"Kenapa dia?"

"Badannya panas,"

"Nggak dibawa ke rumah sakit ato ke klinik."

"Ini hari Minggu. Kuatirnya nggak ada dokter anak!" Laras berkata panik.

"Tapi paling enggak anak ini bisa ditangani." Tangan besar pria itu mendarat di kening Aryan yang mulai menangis kencang. "Ini sih panas banget, Laras. Kamu ini gimana, punya anak sakit kok dibiarin?" pria itu menatap Laras penuh tuduhan.

"Mas ke sini mau apa? Mau nyalahin saya?" Laras yang sedang bingung tidak terima disalahkan. Anaknya sendiri sudah menjerit- jerit tak karuan. Suta langsung mengambil alih badan gemuk bayi itu dari tangan Laras, dan berkata, "Kamu siapin perlengkapan dia. Saya antar ke rumah sakit sekarang juga!" perintah Suta.

"Tapi mobil lagi dipake Ratih. "

"Saya pinjam mobil operasional Ranjana. Kamu lupa kita ada cabang di Semarang juga?"

Laras kemudian meluncur ke dalam. Memerintahkan Nuning untuk mengemasi barang - barang Aryan, sementara ia mengganti daster buluk yang dulunya berwarna putih, kini jadi mangkak.

Miss Dandelion Where stories live. Discover now