Tiga Puluh Delapan

2K 361 40
                                    

Laras berdiri di depan mesin ATM dengan pikiran gamang. Jumlah saldo di rekening lamanya melebihi apa yang mampu ia bayangkan. Rupanya, Suta masih sering mentransfer sejumlah uang untuknya. Walau mereka sudah berpisah cukup lama.

Rencananya, untuk menambah modal, Laras ingin menarik uang dari rekeningnya yang lama. Di sana masih ada sisa uang  belanja yang dulu kerap ditransfer Suta selama Laras menjadi istrinya.

Uang pemberian Gatra sebagian ia depositokan untuk biaya pendidikan dan kesehatan Aryan. Sebagian lagi sudah ia pergunakan untuk mengontrak rumah yang sekarang  ia tempati selama lima tahun, supaya dapat harga murah. Lalu untuk membeli mobil , modal usaha, juga diberikan pada ibunya.

Sekarang uang yang ada di rekening lama milik Laras, berjumlah lebih banyak dari yang seharusnya. Dengan uang itu, bahkan Laras bisa membeli rumah di kawasan elit Semarang seperti Gajahmungkur atau Tembalang atau Setiabudi.

Tapi ia ragu untuk mengambilnya. Sebagian karena merasa dirinya sudah tidak berhak menggunakan uang tersebut. Sebagian lagi takut bila ia akan bertemu Suta karena bila ia menarik uang itu, tim IT Suta pasti akan tahu di mana Laras berada.

Sebenarnya Laras sendiri juga bingung kenapa dia jadi sedilematis ini. Apa masalahnya bila ia bertemu dengan Suta? Dia merasa sudah tak mempunyai masalah dengan pria itu.

Hanya saja rasanya....

Ah, sudahlah! Laras memutuskan untuk batal menarik uang dan  ke luar dari ATM. Ratih menatapnya keheranan. Ekspresi di wajah kakaknya seperti orang sedang syok. "Ada apa, Mbak?"

"Nggak," Laras menggeleng. Ia masih linglung. "Nggak apa- apa." Perempuan itu meyakinkan sang adik. Walau terdengarnya ia ingin meyakinkan dirinya sendiri. "Mau makan di mana?"

"Makan Gudeg? Atau Soto Bangkong? Atau Nasi Ayam Bu Nyoto? Atau ke mal aja?"

Kernyitan berbaris di dahi Ratih yang mulus. "Tumben Mbak Laras nawarin makan dulu? Biasanya kalo pergi- pergi tanpa Aryan, Mbak selalu buru- buru pengin pulang. Sebenarnya ini ada apa? Kan aku udah bilang kalo Mbak Laras ada masalah, cerita aja ke aku. Jangan apa- apa disimpan sendiri. Apa- apa disimpan sendiri. Otak Mbak Laras bisa nge- hang lama- lama sih."

"Nanti aku cerita, Tih."

****

Dhea melangkah turun dari taksi yang mengantarkannya ke Pejaten. Bunda Intan bilang, Rania sudah sampai di Jakarta. Tidak cuma mengundang Dhea, Bunda juga rupanya juga mengundang teman- teman masa  SMA Dhea dan Rania.

Ada Rissa yang datang bareng anaknya, lalu ada Agnia, Dara, dan Hana. Semuanya geng cewek semasa Dhea SMA.

"Wuih, Ran, lama nggak ketemu kok jadi tambah kurus gini?" Dhea menyapa sambil cipika- cipiki.

"Eh, nggak sopan. Baru ketemu udah ngatain gue kurus sih?"

"Eh, Ni, gimana kabarnya? Di Jakarta apa di Bandung nih?" dari Rania, Dhea berpindah ke Agni yang perutnya mulai membuncit. "Udah berapa bulan itu btw? Gila tokcer juga si Galih ya?"

"Ah basi lo! Gue minta mampir ke tempat gue jawabannya tar sok, tar sok mulu! Mentang- mentang udah jadi orang kantoran lo!" Agnia mencibir. Tapi toh ia menyodorkan pipinya yang polos tanpa riasan ke arah Dhea. 

"Guys, word please. Ini telinga Ziva masih terlalu suci untuk dengerin omongan kalian yang euh... kurang sopan?"

"Ya deh, Mama Rissa." Dhea menjawil pipi gembil Zivara, yang sebenarnya adalah keponakan Rissa.

Jadi, Rissa harus menikahi kakak iparnya, setelah kakak kandungnya, Zaskia meninggal karena sakit setelah melahirkan Ziva empat tahun yang lalu.

Awalnya perempuan itu menentang habis- habisan ide keluarga besarnya. Dia tidak sudi menerima bekas orang lain. Tapi entah bagaimana ceritanya, sampai Fajar bisa meyakinkan Rissa untuk menjadi ibu sambung bagi Zivara. Bonus, sekarang Rissa sedang hamil adiknya Ziva.

Miss Dandelion Where stories live. Discover now