Empat Puluh

2.8K 413 57
                                    

Walau tidak ingin, Laras tetap memaksakan sepotong makaroni panggang  di garpunya itu masuk ke dalam mulutnya. Di bawah pengawasan mata setajam elang orang yang mengaku sebagai suaminya itu, Laras masih menahan kejengkelannya. Merasa dirinya adalah tahanan berbahaya dan Suta adalah sipir jahat yang siap menginjak tangan Laras kalau perempuan itu berani macam- macam.

Yang Laras butuhkan saat ini adalah kekuatan. Kekuatan agar tetap tegar mendampingi bayinya. Juga untuk menghalau perasaan tertarik yang masih dirasakannya demikian kuat untuk mantan suaminya itu.

"Kamu serius sama lelaki itu?"

"Lelaki yang mana?"

"Laras, please. Don't play this stupid game with me. Kamu tahu benar apa yang aku omongin!" Suta nyaris membentak perempuan itu. Ia merasa gemas bukan main.

Pria itu merasa Laras telah berubah. Laras yang dulu ia kenal akan diam saja bila diintimidasi, atau dibentak- bentak seperti tadi. Tapi Laras yang ini, yang kini sedang mencoba menjejalkan sepotong demi sepotong makaroni panggang ke dalam mulutnya, seperti sosok lain yang belum pernah Suta kenal.

Laras yang ini berani melawannya. Dan entah mengapa, hal itu membuat kadar ketertarikan Suta pada perempuan itu jadi semakin tinggi.

"Aku sudah sebesar sapi gelonggongan yang siap disembelih. Mana mungkin  dokter Fardhan melirikku buat tujuan yang ada di kepala kamu itu. Saat ini aku nggak tertarik untuk menjalin hubungan ke arah situ. Aku mau fokus besarin Aryan. Sama usaha yang baru- baru ini aku rintis."

"Dan kamu nggak akan melibatkan aku dalam rencana- rencanamu itu?"

"Buat apa?"

Suta menggeretakkan gigi- geliginya gemas. Kalau sedang tidak berada di kantin rumah sakit yang cukup ramai ini, sudah pasti dia akan memojokkan Laras. Lalu menciumnya membabi buta. Lalu menamparnya keras- keras supaya perempuan itu sadar kalau Suta masih sangat menginginkannya.

"Kamu pikir aku ke sini buat apa?"

"Mana aku tahu! Aku bukan dukun yang ngerti isi pikiran Mas Suta!"

"Kamu sekarang pinter jawab ya?"

"Orang nggak selamanya bodoh!"

"Siapa yang bilang kalo kamu bodoh?"

Laras meletakkan garpunya. Nafsu makannya lenyap seketika. Makaroni panggang itu tidak lagi menarik perhatiannya. Ia kemudian meneguk air mineral dari botol dan bangkit. "Aku harus nungguin Aryan. Aku nggak mau nahan Mas Suta di tempat ini juga. Kalo mau balik, silahkan balik!"

"Damn it, Laras!" Suta menggeram kesal. "Kamu ini bisa diajak ngomong nggak sih?"

Laras tidak menjawab. Ia malah melenggang ke luar dari kantin. Meninggalkan Suta yang sedang mencoba meredakan amarahnya.

****

Malam harinya, Aryan kembali sangat rewel. Padahal Laras, Ratih, Nuning, bahkan dokter Fardhan yang bertahan di rumah  sakit sampai menjelang magrib pun sudah bergantian untuk menggendong bayi itu sejak sore.

Bayi gendut itu hanya bisa memejamkan mata sebentar saja. Tidak lebih dari lima belas menit. Untung saja Laras punya persediaan lima botol ASI yang tadi sore dibawakan Ratih dan Nuning dalam kondisi setengah beku.

Tapi Aryan tidak minum begitu banyak. Laras stress bukan main. Meski dia berpengalaman merawat keempat adiknya ketika sedang sakit, tapi menghadapi Aryan emosinya yang maju lebih dulu.

Dia tidak tega melihat anaknya  kesakitan. Laras berdiri dengan wajah menahan tangis serta kefrustrasian yang tampak jelas di matanya. "Kamu sebaiknya istirahat dulu. Biar aku yang jaga Aryan." Ujar Suta yang tiba- tiba berdiri di samping Laras.

Miss Dandelion Where stories live. Discover now