8 - Setan

1K 147 5
                                    

Sambil menjalani usaha gue buat cari jodoh, gue ingatkan, gue tetep kerja ya.

Ada suatu ketika akhirnya tiba saatnya gue ditugasin satu tim bertiga - sama Pakdhe dan Mas Andri, ke daerah Kalimantan Tengah. Ngurusin kliennya si Ali yang tiba-tiba punya pabrik besar disana. Secara prosedur, pabriknya memang harus ditinjau supaya membuktikan bahwa angka yang klien gue catet itu bukan angka tipu-tipu.

Nah, tapi kenapa nontonin pabrik aja si Pakdhe mesti ikutan?

Jelas alesannya karena Kak Ali juga ikutan. Masih inget Ali kan, musuh bebuyutan Pakdhe yang orang timur itu. Si VP perusahaan start up yang bisa bikin logat batak Pakdhe keluar seketika setiap denger logat timurnya.

Ali pengen liat juga bentukan si gudang baru itu. Biarpun orangnya konyol macem nutrijel, gitu-gitu jabatan Ali lumayan tinggi - satu tingkat dibawah direksi perusahaannya. Nggak mungkin kalau VP klien berangkat, tapi konsultan yang ditugasin cuma level senior dan manajer aja. Jadilah untuk menghormati, Pakdhe sebagai partner juga turun gunung dan ikutan buat visit kesana. Itung-itung biar dia sekalian liat gudangnya.

Satu hal yang kami sesalkan adalah membiarkan tiket pesawat mereka berdua dipesan  sebelahan. 

Tau kan setiap mereka berdua ketemu pasti berantem? Jadilah kami berdua mendengar jelas pertengkaran dua kaktus joget itu. Meskipun mereka bangku kelas bisnis dan kami kelas ekonomi, kelas bisnisnya mereka itu bangku paling belakang dan kami bangku ekonomi paling depan. Jadi, mereka berdua berantem persis di depan kami.

"Aku pinggir lah, Ali! Aku ini diare! Kek mana nanti aku kalau kebelet ke toilet!" Pakdhe mulai ngomel ketika Ali menyuruhnya masuk duluan ke kursi bagian dalam. Untungnya zona kelas bisnis waktu itu agak sepi, jadi nggak banyak orang yang musti dengerin manusia dari barat dan timur Indonesia itu berantem.

"Ih!" Ali memekik. "Sa ni gampang mabuk! Kalau sa duduk di window, sa pasti akan lihat ke langit, to?! Sa punya otak ini pasti tepikir bagaimana kalau kita jatuh ke bawah! Ko saja di dalam, Kaks! Macam mana kalau sa muntah, Kaks mau bantu tampung kah?"

"Norak kali kau jadi orang, wak! Kek anak SD saja kau, mabuk udara! Pokoknya aku gak mau ya di dalam, makin sulit nanti kalau aku kebelet buang hajat!"

"Marga Nasution, buang hajat itu lebih bisa ditahan daripada sa punya mabuk darat! Mabuk darat itu, Kaks hela nafas sedikit saja, keluar itu sa punya isi perut!"

"Hei orang timur! Kau pikir buang hajat gak kek gitu, hah?! Itu kena tiup angin pun jadi itu wak isi perut aku keluar! Sama kita punya masalah isi perut, tapi aku lebih darurat karena keluarnya lewat belakang, wak!"

Gue dan Mas Andri yang duduk di belakang mereka pasang headset sambil pura-pura tidur. Kami ngeh kalau beberapa orang di kelas ekonomi yang duduknya agak di depan sudah mulai tertarik ke mereka berdua. Kapan lagi ngeliat orang batak dan orang timur berantem ngobrolin isi perut: satu masalahnya sering muntah, satu masalahnya suka kebelet boker. Di saat-saat begini, pura-pura budek dan tidur adalah kunci kesuksesan.

Bener aja, sedetik kemudian pramugari datang menghampiri dan melerai mereka berdua. Demi apapun gue langsung setel lagu kenceng-kenceng, terus merapatkan masker yang untung gue pake daritadi. Malunya sampe di ubun-ubun ngeliatin bos gue, partner konsultan, ditegur pramugari gara-gara rebutan kursi sama kliennya sendiri. Masalahnya cuma ngeributin boker sama mabok darat, kurang malu apa gue jadi anak buahnya.

Pertengkaran berakhir dengan Pakdhe yang duduk di dalam dan Ali yang berjanji nggak akan molor sepanjang dua jam perjalanan. Dia siap minggir kalau sewaktu-waktu Pakdhe kebelet ke kamar mandi.

Tasha! (A Sequel of Pakdhe!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang