Chapter 02. Secret Behind

404 59 31
                                    

bbinaraaa sshh gapura kelurahan dilarang ngomong

hattala_sangga: fitting baju lo?

bbinaraaa: enggak, fitting kain kafan.

hattala_sangga: Ohhh semangat ngehafalin marrabbuka deh.

"Ngeselin!" Bina menutup kotak perpesanannya dengan pria itu dan menggeser layar ketika satu pemberitahuan masuk. Dia sudah menemukan seorang driver yang sekarang sedang menjemputnya!

Sekarang baru pukul lima sore. Secara ajaib, agendanya hari itu berjalan lancar. Dia tidak perlu antre untuk fitting dan jalanan tidak semacet biasa. Jadi, Binara mereka pundaknya tidak terlalu lelah sementara ia masih punya banyak waktu tersisa. Rencana semula untuk langsung pulang pun, ia coret dari pikiran begitu saja. Ide lain muncul. Satya yang baru pulang dari rapat pasti lelah. Tidak ada salahnya, jika calon istrinya yang cantik dan sempurna ini akan ia temukan nanti, berkutat di dapur miliknya, dengan apron kepunyaan Satya, sedang memasak makan malam untuk pria itu. Brilian!

Pukul enam kurang, ia telah tiba di apartemen pria itu yang berjarak tidak jauh dari butik tempat Binara memesan gaun. Sempat bahkan, dia mampir ke minimarket depan apartemen untuk membeli sejumlah bahan makanan. Hanya pasta mentah, beberapa jenis saus dan daun bawang. Rencananya, ia ingin membuat spageti.

Ini akan menjadi kejutan, tekadnya. Karenanya, ide untuk memberitahu Satya dibuang ke luar jendela, lagipula Binara hafal sandi unit tunangannya tersebut; tanggal kelahiran Binara. Ia hanya menghubungi Mila, sahabatnya.

Bagi resep spageti yang enak lo itu dong. Gue masih kasih kejutan buat Satya. Hehe.

Tetapi pesannya masih ceklis satu, belum dibaca apalagi dibalas. Ya sudahlah, pikir Binara. Sudah kepalang beli bahannya, dia bisa mencari-cari resep di Youtube nanti. Tangannya sekarang penuh, satu membawa belanjaan dan satu menahan tas. Binara menyatukannya sembari menekan angka sandi.

***

Dengung pelan nyanyian. Senyum kecil menghias wajah Binara Hima. Rasanya cukup aneh, masuk ke rumah lain yang bukan rumahnya, memasak untuk orang lain yang bukan keluarganya. Tetapi sebentar lagi, statusnya akan berubah. Satya akan menjadi satu bagian penting dalam hidupnya dan karenanya, Bina ingin mempersiapkan diri. Ia tidak boleh terlalu gugup nanti di depan Satya.

Langkahnya sedikit terburu, meyakini bahwa tidak ada siapa-siapa di sana selain dirinya. Tetapi tumpukan kain di lantai menghentikannya.

Ketika Bina mengangkatnya, benda itu adalah sebuah dress. Dress berwarna merah muda yang familiar. Kening gadis itu mengernyit. Dia tidak ingin pernah memiliki baju ini. Lalu untuk apa ... baju seperti ini, dan bukan miliknya, berada di apartemen Satya?

Lalu, suara tawa terdengar. Pelan. Lembut. Suara seorang perempuan.

Mendadak, jantung Bina rasanya jatuh ke perut. Ia menolak untuk seketika membenarkan pikiran-pikiran buruk yang menyerangnya dengan tiba-tiba, berbondong-bondong. Jadi ia menguatkan diri dan melangkah menuju kamar itu. Mungkin ia salah dengar? Mungkin itu suara TV yang lupa Satya matikan.

Tetapi kemudian ia menemukan potongan bra di depan pintu. Juga, suara pria itu, tunangannya.

"Ya, selagi aku belum menikah sama Bina, aku milik kamu, Sayang."

"Kalau sudah menikah?"

"Dia akan jadi istriku, tapi hatiku tetap milik kamu."

Bina membuka pintu, dan ketiganya membeku. Dia, Satya, dan ... Mila, yang tengah bercumbu.

Kekeh cengkerama yang terdengar sangat lucu itu terhenti. Bina berdiri di sana, tangannya gemetar memegangi handle pintu. Sementara Satya bangkit dalam kekagetan dan Mila menyembunyikan diri di balik selimut. Mereka berdua .... di belakangnya.

Saat itu, Bina tidak memikirkan banyak. Hanya bagaimana cara agar airmatanya tidak jatuh di depan dua bangsat itu. Dan kedua, bagaimana cara, agar memindahkan sedikit rasa sakitnya kepada mereka.

Jadi dengan langkah-langkah lebar penuh amarah dia pergi ke jendela, membukanya lebar-lebar. Dan, saat dua orang itu hanya memandangi dengan mata terbelalak, mengira Bina akan melempar dirinya dari ketinggian lantai dua belas tersebut. Tetapi tidak. Mata gadis itu secara nyalang memindai ruangan. Ia meraih berbagai koleksi mainan mahal milik Satya berikut piagam-piagam penghargaan miliknya, meraupnya sekaligus sebelum melemparnya keluar jendela. Satya berteriak, tetapi tidak berhasil menghentikan gadis itu yang membongkar lemarinya dan melemparkan pakaian-pakaiannya ke bawah.

"Bina!" Satya berteriak, berusaha meraih tangannya yang dengan cepat Bina sergah, terima kasih kepada teknik bela diri yang ia kuasai semenjak kecil.

"Bina aku bisa jelasin! Kamu tenang dulu!"

Rambut panjangnya berantakan, wajahnya ganas, memandang Satya dan Mila seolah siap memakan mereka mentah-mentah, membuat dua orang itu dengan ragu menjaga jarak. Sisa-sisa pakaian Satya, ia tumpuk di depan kasur. Kecuali untuk gaun Mila yang kini Bina ingat sebagai pakaian yang ia belikan untuk gadis itu, masih tergenggam di tangan. Gadis itu tertawa janggal. Kesal. Marah. Merasa konyol.

"BINARA!"

Bina terkekeh mencemooh. "You know what? You're playing with the wrong fire. Now burn!"

Bina tidak merokok, tetapi Satya iya. Pria itu selalu melupakan pemantiknya di sembarang tempat dan Bina selalu berakhir menyimpan benda itu di tasnya. Sekarang, ia tidak menyesal. Ia menyalakan pemantik itu dan membakar gaun Mila di tangannya sebelum melemparnya ke tumpukan sisa pakaian. Api menyebar dengan cukup cepat, membuat Satya panik sendiri mencari air untuk memadamkan.

Terlambat. Alarm kebakaran menyala dan Bina menyunggingkan senyum. Ia lalu berbalik keluar dari apartemen itu. Tanpa ucap terpisahan.

Hari ini hatinya hancur, dipatahkan dua orang yang ia percaya sekaligus. Tetapi di luar langit masih cerah. Alarm menyala kencang dan orang-orang mulai ribut keluar dari unitnya.

Setidaknya, pakaian dua bangsat itu sudah ia musnahkan. Setidaknya, mereka akan berlarian keluar dengan telanjang. Dengan memalukan.

Bina mengambil kaca mata hitam dari tasnya, memasangnya, dan berjalan seolah tidak ada apa-apa. Seolah .... dia baik-baik saja.

***

Emergency HubbyWhere stories live. Discover now