Chapter 10. Unboxing

834 72 16
                                    

Warning: Agak saru.


"Gue hamil anak lo."

Sangga menutup mackbook-nya. Ia menimbangnya sejenak di tangan, lalu mengayun-ayunkannya pelan sembari menatap Bina dingin.

"Ini kalau kena kepala bisa benjol lima senti, minimal."

Bina dengan segera menyengir. "Iya, ampun ndoro. Gue jelasin kok, semuanya. Tenang!"

"Semuanya?"

Y-ya semuanya," bolamata gadis itu bergerak liar, seolah sedang mencari alasan. "Kecuali...."

Alis Sangga terangkat. Dan Bina kembali meringis. Ia sadar, Sangga bisa saja benar-benar membuat benda di tangannya itu mencium kepala Bina. Pria itu punya riwayat pernah memitingnya, menjentiknya, menoyornya hingga mencubit pipinya keras. Tidak ada yang tidak mungkin ia lakukan. Tidak lucu, kan, kalau Bina sudah mendapat KDRT sejak jadi istri Sangga kurang dari dua puluh empat jam?

"Kecuali bagian gue ngelamar lo. Gue bilang lo yang nawarin." Sebelum macbook melayang ke kepalanya, Bina cepat-cepat menambahkan. "Kurang baik apa kan gue? Muji-muji lo depan ortu gue? Gue bilang lo ngelakuin itu karena lo care banget sama sahabat lo ini, bahwa lo malaikat. Sampe-sampe mereka pengen sujud-sujud sama lo. Keren banget, kan lo di mata mereka?"

Sangga berdecih. "Bisaan banget alasan! Pengen banget lo ditaksir sama gue?"

"Idih. Gue pengennya ditaksir Karina aespa, sih."

Lalu, Sangga memutuskan untuk tidak mendebat lagi. Karena pekerjaan dadakannya telah selesai, ia mengembalikan mac ke tempatnya di dalam tas. Melihat tas, Bina jadi terpikir hal yang sebelumnya ia lupa tanyakan.

"Eh, Ga. Lo udah urus cuti perpanjangan kan, ya?"

"Hm. Udah."

"Jadi sepuluh hari?"

"Lama banget, sih, Bin? Aslinya bos gue keberatan."

"Ya gimana abisan? Gue udah booking hotel buat seminggu sama tiket pesawat pulang pergi. Kalo refund udah mepet banget, nggak bisa. Mana ini tuh, Phuket. Lo belum pernah ke sana, kan? Sama gue juga belum! Inget nggak, waktu SMA, kita pernah pengen liburan bareng ke Thailand tapi nggak jadi? Nah, ini kesempatan kita, Ga. Seminggu leha-leha kenapa, sih? Kerja mulu pikiran lo!"

Sangga menggeleng. Ia kembali duduk di sofa, di dekat gadis itu dengan sepiring apel yang telah diiris dan semula tersimpan di kulkas.

"Iya, iya, bawel," katanya, menjejalkan sepotong apel ke mulut Bina.

***

Malam beranjak, dan meski kasur yang ia tiduri terasa amat nyaman, empuk dengan wangi bunga. Meski lampu sudah dimatikan kecuali untuk lampu meja di pojok ruang yang memberikan cahaya remang. Meski badannya lelah teramat sangat dan tulangnya terasa rontok, Bina tidak dapat tertidur.

Ganti baju dan mandi sudah. Membersihkan kasur dari bunga-bunga sudah. Memasukkan baju dan barang-barang ke koper, sudah. Apa lagi yang belum dan perlu ia lakukan?

Ia bergeser untuk kali ke sekian di tempat tidur. Samar, jam dinding menunjukkan waktu sudah hampir jam dua pagi. Bina menghela napas. Tidak peduli seberapa kuat dia coba memejam, cara itu tak berhasil.

Pada akhirnya, gadis itu lalu melirik ke sisinya. Ini bukan kali pertama dia berbaring dan menemukan Sangga di sampingnya. Namun, terakhir kali hal itu terjadi sudah lama sekali, waktu SMA, sebelum Sangga memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di tempat yang jauh dan mencipta jarak di antara keduanya. Sekarang rasanya aneh. Menemukan seorang pria berbaring di sampingnya.

Emergency HubbyWhere stories live. Discover now