Chapter 07. The Wedding

513 66 18
                                    


"Boleh buka matanya, Kak?"

Bina mengerjap. Matanya terasa lebih berat dari biasa. Lalu, cahaya terang memasuki indra penglihatannya, bersamaan dengan pemandangan yang .... tidak terbayangkan olehnya sebelumnya. Dalam pantulan cermin rias, sedang menatap dirinya adalah seorang wanita yang hampir tidak ia kenali. Cantik, dengan make up tidak terlalu tebal, tidak juga terlalu tipis. Cukup untuk meng-highlight garis-garis feminin wajahnya. Hidungnya tampak lebih ramping, pipinya lebih tirus dan sedikit kemerahan di sekitar hidung, matanya lebih besar, berwarna cokelat terang dengan bulu mata panjang dan lentik dalam porsi yang pas. Gadis cantik itu menatap lurus ke arah Bina.

Ketika Bina melengkungkan senyum, ia turut tersenyum.

Mbak Ria, si penata rias kemudian menambahkan sentuhan terakhirnya, memasangkan tiara di atas kepala. Mahkota kecilnya yang berwarna keperakan dengan hiasan permata sederhana menyempurnakan seluruh penampilan Bina. Ria mengajak gadis itu berdiri, menghadap cermin besar yang menangkap pantulan seluruh badan.

Ini dia. Binara Hima. Mengenakan gaun pengantin seperti yang diidamkannya semenjak lima belas tahun lalu. Ketika Bina berputar, gaun itu mengikutinya dengan lembut, sebelum jatuh di sekitaran kaki.

"Cantik banget, Kak." Sang penata rias memberi tahu, terkagum sendiri akan hasilnya.

Dan Bina tersenyum. Seketika jantungnya berdebar. Seketika, pernikahan terasa seperti .... tidak nyata.

Pintu diketuk dan seseorang masuk. Hania. Wanita itu menyentuh lengan Bina dan tersenyum lembut.

"Cantik banget deh, calon adik ipar," sapanya. "Bina, kamu sudah siap? Acaranya mau dimulai."

***

Tidak banyak yang bisa Bina ingat dari momen pagi itu. Dia tidak ingat siapa saja yang hadir memenuhi kursi tamu. Dia tidak ingat berapa banyak orang di sana. Dia tidak ingat apakah teman-teman dekatnya datang mengenakan pakaian dari kain yang ia kirimkan sebagai bridesmaid. Dia tidak ingat berapa lama waktu berjalan. Kepalanya terasa kosong.

Yang dia ingat, adalah langkahnya yang goyah semakin dia dekat dengan tempat dilaksanakannya ijab kabul. Yang dia ingat adalah Sangga, menoleh ke arahnya. Dengan beskap putih yang membalut tubuhnya dengan amat sempurna. Yang dia ingat, adalah jantungnya yang terasa seperti dengungan ribuan lebah, ketika tatap mereka bertemu. Yang dia ingat .... adalah senyum pria itu, yang meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.

Dia tidak perlu takut, karena yang ada di sana adalah Sangga.

Mereka duduk berdampingan. Bina melihat ayahnya berada di hadapan Sangga, berjabat tangan. Wajah laki-laki itu serius. Dan rasanya, saat itu, waktu berhenti merayap.

"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, Ananda Hattala Sangga bin Heri Pratama, dengan pinanganmu, putri saya yang bernama Binara Hima binti Ahmad Malik, dengan maskawin berupa perhiasan emas seberat 21 gram, serta seperangkat alat salat. Tunai."

***

21 Juli, 2004.

Mobil pick-up biru terparkir di halaman rumah tetangga sebelah. Bina ingat, kakek-kakek yang menempati rumah itu sudah berpamitan minggu lalu, membawa serta satu mobil penuh tas dan barang-barang lainnya. Ia akan pulang kampung untuk tinggal bersama anaknya, katanya. Tidak akan kembali. Rumah itu dijual, sebagian barang perabotannya dijual, sebagian diberikan ke tetangga, termasuk kursi goyang di sudut rumah yang Bina senang duduki.

Satu orang wanita, tampak seumuran ibunya turun, membawa satu kotak di tangan, dibuntuti satu anak laki-laki yang Bina duga tidak beda jauh usia dengan dirinya. Ah, tetangga baru. Ia harus datang dan menyapa!

Emergency HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang