Chapter 08. How It Started

464 66 16
                                    



"Awalnya kita kan emang temen dari bocil, semua juga tahu. Tapi pas lo kuliah ke Sidney tuh kan kita udah mulai renggang tuh. Sampe lo balik lagi ke sini kan kita juga masih agak jarang ngobrol. Jadi, kita mulai deket lagi beberapa bulan lalu. Pas─ Ga?"

Terpaksa, Bina menggoyang lengan Sangga, mencegah pria itu yang sudah mulai menundukkan kepala untuk tertidur.

"Bentar, jangan tidur dulu. Gue belum selesai bahas skenario kita. Gue belum selesai."

"Capek banget, tahu, gue bolak-balik ngurus dokumen!"

Pria itu lantas mengambil bantal sofa dari dekapan Bina untuk berbaring. Dan, karena sofa itu sudah penuh oleh dirinya sendiri dan Bina yang duduk di pojok, Sangga berdamai dengan meletakkan bantalnya berdempetan dengan paha gadis itu sebelum membaringkan sebelah badannya di sana sementara kedua kaki panjangnya berselonjor ke lantai.

Bina meneruskan cerocosnya. "Terus, pas abis gue putus sama Satya, lo tiba-tiba ngelamar gue."

Mendadak, Sangga bangun duduk. Sepasang alisnya yang tebal ditautkan sementara tatapannya jelas-jelas menghakimi Bina.

"Gue? Ngelamar lo? Nggak kebalik?"

"Ih, nurut aja, kenapa?! Pokoknya lo tiba-tiba ngelamar gue setelah gue baru putus sama Satya. Soalnya, lo udah lama dari jaman SMA naksir sama gue dan nggak mau nyia-nyiain kesempatan."

"Bentar! Bentar!" Pria itu mengangkat telapak tangannya, menghentikan Bina dari rentetan karangan tersebut.

"Kenapa?"

"Bentar, mau ke kamar mandi. Perlu muntah."

Dan ucapannya itu, dihadiahi cubitan keras dari Bina tepat di lengan.

"Lo nggak bisa diajak kerjasama banget! Pokoknya kalau ada yang nanya, lo bilang gitu ya, Ga."

"Enggak."

"Gaaaa."

"Lo yang naksir gue dan mohon-mohon gue buat nikahin lo. Pake nekat mau ngaku-ngaku hamil lagi!" Sangga mendengus.

"MANA ADA?! Pokoknya lo yang naksir duluan!"

"Lo!"

"Elo, Sanggaaa."

"Elo, Binaaa."

"Ya udah. Suit, deh!"

***

"Panas banget, gila! Mana laper," bisik Bina.

Wanita itu menekan perutnya yang sudah ditekan penuh oleh korset agar tampil seramping mungkin. Di dalam sana, cacing di perutnya meronta-ronta, asam lambung mengancam dan sisa-sisa sosis (satu-satunya makanan yang sempat masuk ke dalam perutnya hari ini) merasa amat kesepian. Ia lapar sampai rasanya ingin memangsa para tamu yang terus berdatangan, memaksanya tersenyum tanpa jeda.

Sangga menundukkan kepala, membuat badannya yang nyaris dua jengkal lebih tinggi dari Bina sedikit lebih sejajar dengan wanita itu. Bisiknya, "Rest dulu gih ke belakang. Biar gue yang handle."

Bina menyukai ide itu. Rasanya dia sudah mau pingsan karena lapar, gerah, dan kelelahan berdiri. Tetapi belum Bina berhasil menjauh lebih dari dua langkah, gerombolan yang ia kenal naik ke atas panggung, memaksa Bina untuk lagi-lagi mengembangkan senyum bahagia sembari menyambut mereka.

"Selamat ya, Bina, Sangga. Nggak nyangka banget, sumpah! Kok bisa tiba-tiba nikah?"

Amel adalah orang kesekian yang bertanya begitu, dari sekian banyak teman-teman keduanya dari SD, SMP sampai SMA. Mungkin itu efeknya mereka selalu bersekolah di sekolah yang sama, sehingga terlalu banyak teman seangkatan yang saling kenal. Jadi terlalu banyak yang bertanya.

Emergency HubbyWhere stories live. Discover now