Chapter 09. Malam Pertama

644 64 18
                                    

Yes, malam pertama harus dipublishnya tengah malam banget, lol.

***

Family dinner yang diadakan malam ini adalah bagian dari paket pernikahan seharga seratus lima puluh juta yang sudah Bina bayar. Jika bukan karena hal tersebut, tentu dia lebih memilih berdamai dengan punggung rentanya yang meronta-ronta meminta diistirahatkan. Tetapi mengingat dia telah membuang uang sebanyak itu, rasanya Bina tidak rela menyia-nyiakannya. Jadi sepuluh menit kemudian dia telah menyeret Sangga untuk turun meski pria itu menyediakan seribu satu alasan agar tidak ikut.

Rambutnya, untungnya telah berhasil diurai, meski sejumlah helai rontok dan membuat Bina menjerit-jerit dramatis. Sekarang, ia mengumpulkannya dan menyatukannya dengan jedai setelah menyisir singkat. Sangga mengikutinya.

Di bawah, seluruh anggota keluarga dari kedua pihak telah berkumpul. Ada Ayah, Bunda, Mama Tia, Papa Heri, Mba Hania dan suami serta bayi kecilnya, Abil. Nenek Bina tidak ikut acara makan, hanya hadir di pernikahan sebentar karena sakit. Sementara Sangga telah kehilangan kedua kakek neneknya sejak SMA.

Rasanya aneh. Ini bukan pertama kali Bina melihat kedua keluarga dekat ini makan bersama. Mereka selalu melakukannya. Saat ulang tahun Bina. Saat ulang tahun Sangga. Saat kelulusan SD, SMP, hingga SMA. Saat Papa Heri dapat promosi jabatan. Saat Ayah syukuran karena Bunda terhindah dari satu musibah. Bina selalu melihat mereka berkumpul dalam satu meja di momen-momen terpenting hidupnya.

Pun sekarang. Di momen yang tidak bisa sangka, akan berakhir begini jadinya.

"Eh, pengantin baru akhirnya datang?!" Mama Tia menyapa bersemangat, bahkan melambai-lambai saat Bina dan Sangga baru saja melewati pintu masuk restoran. "Sini! Sini! Gabung sini!"

Kadang, Bina merasa seperti anak tiri di rumah sendiri, meski dia adalah putri satu-satunya. Tetapi Ayahnya adalah tipe pria tegas dan disiplin, sedangkan ibunya luar biasa galak. Bina tumbuh besar dalam didikan seperti militer. Namun ketika dia menyeberang tidak sepuluh langkah ke rumah Sangga, dia selalu diperlakukan selayaknya tuan putri. Papa Heri senang melempar guyonan lucu bapak-bapak, lalu diam-diam membelikannya es krim. Mama Tia cerewet, dia suka memasang dan seringnya Bina mendapat kehormatan menjadi orang pertama yang menyicipi masakan wanita itu sembari mendengarkannya bercerita panjang lebar tanpa tema tetap. Mbak Hania sendiri suka mengajarinya hal-hal rahasia seputar anak perempuan, mengecat kukunya, memasangkan pita di rambutnya, juga menghabiskan waktu berdua membicarakan pria-pria tampan.

Sama seperti saat itu. Mama Tia dengan semangat menarikkan kursi di sisinya, menepuk-nepuknya sembari memanggil Bina semangat. Sangga duduk di kursi tersisa di sebelah Bina, sama sekali diabaikan oleh keluarganya sendiri.

Di antara aroma mengundang steak salmon dengan saus krim serta capcay seafood yang tersedia, pembicaraan yang semula ramai, kembali berlanjut. Perlahan, topik yang bergulir ke arahnya membuat Bina merasakan telinganya memerah.

"Nggak nyangka, ya, Rin, kita akhirnya jadi keluarga," ucap Mama Tia pada Bunda. "Aku seneng banget deh kita bisa besanan. Akur-akur ya, kita."

"Iya. Aku sih seneng banget ya, Ti. Jadi bisa sering-sering makan bareng dong kita? Tapi maaf ya kalau Bina anaknya kayak gini."

"Gini gimana? Cantik banget gini." Pipi Bina dicubit pelan oleh Mama Tia. Dia tidak keberatan, wanita itu sudah suka melakukannya sejak Bina masih kecil. Gemas dengan pipi bakpao Bina, katanya.

"Kalau itu mah siapa dulu kan ya ibunya." Mereka tertawa, tetapi Bunda kemudian melanjutkan. "Tapi nggak bisa masak dia tuh."

"Masak kan gampang, Rin, tinggal masuk-masukin bahan, bumbu. Jadi."

Emergency HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang