Part 2

45.9K 2.4K 29
                                    

"Selamat pagi, Sus. Saya ingin mendaftarkan anak saya menjadi pasien," ujar seorang ibu-ibu setengah baya padaku. Aku tersenyum dan melongok ke belakang pundak ibu itu. Siapa lagi ya? Aku terkejut. Ternyata seorang pemuda tampan yang duduk di kursi roda. Ketika melihatku, ia juga tersenyum. Tersenyum di balik wajah pucatnya yang seakan tidak bertenaga lagi.

"Siapa nama anak ibu?" tanyaku ramah.

"Edwin. Edwin Harris," ujar ibu itu. Wajah ibu itu tetap tersenyum, walau aku yakin pasti penyakit yang diderita anaknya adalah penyakit serius.

"Usia?" tanyaku lagi.

"Dua puluh dua tahun," ujar ibu itu. DEG. Jantungku seperti berhenti berdetak beberapa detik. Usia yang sama denganku. Aku semakin penasaran apa penyakitnya.

"Penyakit diagnosis?"

"Kanker... Kanker darah," bisik ibu itu. Di ujung matanya sudah ada airmata, namun ujung bibirnya memaksakan senyum.

"Uhm, baiklah, kamar 20, Ibu," ujarku sembari menyodorkan sebuah formulir untuk dilengkapi. Ibu itu mendorong kursi roda Edwin menyusuri lorong Rumah Sakit. Namun mata pemuda itu masih terpaku padaku. Menatapku... sambil tersenyum. Aku menerka-nerka apa yang sedang dipikirkannya...

Hari itu juga aku harus menggantikan tugas Suster Rima di bagian pengecekan obat karena Suster Rima sedang cuti hamil. Pekerjaanku seperti bertambah dua kali lipat, namun aku tetap merasa senang. Tugas Suster Rima harus melewati setiap kamar. Aku bisa melihat setiap pasien dan mulai mengasah kemampuanku. Itu sebabnya aku bersedia menerima tugas berat tersebut. Aku mulai berkeliling sambil bersiul-siul santai.

"Selamat sore, Suster" sebuah suara tiba-tiba mengagetkanku. Aku baru saja mendeteksi kematian seorang kakek di depan kamar tersebut.

"Hai, Edwin!" sapaku riang. Ternyata Edwin, pemuda tadi pagi, yang menyapaku. Ia sedang duduk di kursi roda, ada semeter di depan pintu kamar 20.

"Seharusnya kau tidak boleh keluar, tahu?" ujarku sambil memonyongkan bibir, "sekarang kau harus masuk kembali ke kamarmu." Aku mulai mendorong kursi roda Edwin ke dalam kamar. Aku belum mendeteksi apapun atas kematian Edwin, jadi aku santai saja.

"Suster, siapa nama Suster?" Tanya Edwin.

"Ehm, namaku Erliani, tapi biasa dipanggil Yani," jawabku. Aku memegang kotak obat di samping ranjang Edwin, menyempatkan diriku mengecek obatnya. Sekalian melakukan pekerjaan, batinku.

"Berapa usiamu, Suster?" Tanya Edwin lagi.

"Bulan depan, aku 22 tahun," jawabku, masih riang.

"Menurut Suster, apa aku masih bisa hidup sampai bulan depan?" Tanya Edwin lagi. Ia menatap mataku dengan matanya yang tajam dan berwarna hitam kecoklatan. Membuatku bergidik. Namun sudah jelas aku tahu jawabannya.

"Yeah, kau pasti masih hidup," jawabku yakin. Aku sama sekali tidak merasakan aura kematian dalam diri pemuda tersebut. Setidaknya, belum.

"Aku tidak yakin," ujarnya lagi. Lebih pelan. Kemudian senyumnya mengembang lagi, "selamat melanjutkan pekerjaan, Suster!"

DEATH ANGELWhere stories live. Discover now