Part 3

38.4K 2.2K 31
                                    

Suatu peristiwa yang cukup aneh bagiku. Sebelumnya aku memang belum pernah bertegur sapa secara langsung dengan pasien. Paling-paling hanya tersenyum dan mengatakan 'cepat sembuh'. Maklum, selama ini aku selalu ada di bagian resepsionis. Percakapan sesaat dengan pemuda bernama Edwin membuatku bergidik. Pemuda yang aneh. Tampangnya saja sudah aneh. Pucat, kurus, wajahnya tirus. Matanya tajam kecoklatan dan rambutnya dipotong cepak. Persis seperti pemeran drakula di film-film barat. Dan ia terlalu pesimis... Yah, siapa yang tidak pesimis jika dokter memvonisnya kanker stadium tiga? Hm, namun kemampuanku tidak mungkin salah. Edwin pasti masih hidup. Setidaknya sampai esok hari...

Prediksiku hari berikutnya, akan ada empat pasien yang meninggal. Cukup banyak sih. Namun ketika aku melihat seorang nenek-nenek berbaju putih berjalan tertatih-tatih menuju kamarnya, aku tahu dialah yang berikutnya. Kemudian, berikutnya seorang sanak keluarga yang terlalu stress akhirnya meninggal dalam beberapa jam. Selanjutnya, anak kecil. Berusia 10 tahun. Sakit jantung. Ia juga akan meninggal hari ini. Terakhir, seorang bapak yang sudah lama dirawat di sini. Akhirnya meninggal juga. Seperti biasa aku berjalan mengelilingi koridor Rumah Sakit yang lengang pada sore hari itu. Aku sudah selesai mengecek obat di setiap kamar, dan sekarang saatnya aku 'mempertajam' kemampuanku. Aku mengecek prediksiku tadi pagi. Benar semua. Keempat-empatnya meninggal. Aku tersenyum puas sambil berjalan riang meninggalkan kamar mayat. Tiba-tiba aku ditabrak dari belakang. Pelan tapi mengagetkan. BRUK! Membuatku langsung menoleh. Sebuah kursi roda. Tentunya dengan penumpang di atasnya.

"Edwin," ujarku kesal, "kenapa kau menabrakku?"

"Dari mana kau, Suster?" tanyanya riang. Wajah pucatnya kelihatan semakin menyeramkan ketika ia tersenyum.

"Aku... ehm... berkeliling. Masalah pekerjaan kok," bohongku.

"Kau tahu tidak, Suster," ujarnya misterius, "hari ini ada empat pasien yang meninggal. Ehm, tiga tepatnya. Satu adalah anggota keluarga yang terlampau shock." Aku terpekur. Kok Edwin juga bisa tahu?

"Kok kamu tahu?" tanyaku heran.

"Kemarin ada dua yang meninggal. Dua-duanya adalah kakek-kakek," bisiknya dingin, "dan besok ada satu lagi yang meninggal. Kamar itu." Jarinya yang kurus menunjuk ke kamar di sebelah kamarnya. Kamar 19.

"Jangan sok tahu," ujarku tersinggung. Aku saja belum tahu kalau pasien itu juga akan meninggal esok hari. Kemampuanku belum sehebat itu. Kemampuanku hanya berdurasi satu hari penuh, 24 jam dari sekarang. Tidak lebih.

"Kita lihat saja nanti," bisiknya lagi, "selamat malam Suster..." lalu Edwin mendorong kursi rodanya masuk ke kamarnya yang gelap.

DEATH ANGELWhere stories live. Discover now