Part 9

29.1K 1.8K 11
                                    

“Tuhan,” doaku, “jangan ambil Edwin dari aku. Kau bisa ambil kemampuan bodoh ini asal jangan ambil jiwa Edwin.”

“Please, Edwin, bangunlah. Demi aku,” bisikku. Tanpa sadar wajahku sudah bersimbah airmata. Airmata apa ini? Persahabatan? Atau cinta? Aku sendiri tak punya waktu mendiagnosanya.

“Nak, istirahatlah dulu. Dari tadi malam kamu nggak istirahat,” bisik mama Edwin. Aku menggeleng. Tidak akan ada semenitpun kubuang. Aku akan memegang janjiku. Aku tidak akan meninggalkan Edwin sendirian. Tidak selama ia masih hidup.

Berhari-hari kulewatkan dengan menjaga Edwin. Kadang aku mencuri waktu dengan tertidur. Namun itu kulakukan saat aku yakin dengan pasti bahwa aura kematian berjalan menjauhi Edwin. Hari ketiga, aku bangun pagi dengan keadaan lemas. Namun aku lebih lemas lagi ketika aku merasakan getaran di tanganku ketika melihat Edwin. Jantungku mulai berdegup kencang. Tanda-tanda… Aura kematian mulai mendekat. Sepertinya jantungku berdebar dua kali lebih kencang daripada biasanya ketika aku merasakan aura kematian itu.

“Tidak… jangan,” bisikku lemah, “jangan…”

Namun aura kematian itu semakin menjalariku. Aku sadar waktunya sudah dekat. Aku memegang tangan Edwin. Mungkin ini terakhir kalinya… Aku mulai menghitung…

“Lima… Edwin… Empat… Aku…Tiga… Mencintai… Dua… Kamu… Satu,” aku menunggu bunyi TIIIT panjang dari alat pendeteksi jantung. Aku memejamkan mata. Airmata berjatuhan dari kedua sisi mataku. Namun tak kunjung ada suara panjang yang menandakan kematian dari alat deteksi jantung. Aku tetap menunggu sambil memejamkan mata. Namun aku tetap tidak mendengar apa-apa. Alat itu tetap berjalan stabil. Aku membuka mata dengan kaget ketika merasa tanganku digenggam erat-erat. Aku langsung menatap sosok Edwin.

DEATH ANGELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang