Part 10

30.3K 1.8K 9
                                    

"Kenapa kau menangis, Suster?" Tanya Edwin. Sudah sadar, wajahnya yang pucat kelihatan riang, penuh dengan senyuman. Tangannya menggenggam tanganku erat-erat.

"Aku pasti sudah pingsan dan ini adalah mimpi," bisikku getir.

"Tidak, kau tidak bermimpi," ujar Edwin senang. Ia tersenyum.

"Tapi... tapi aura kematian menjemputmu tadi..."

"Dan aku mendengar kata-katamu tadi," goda Edwin.

"Edwin, aku tidak bercanda. Kau koma dan aku merasa... ya, aku benar-benar merasakan aura kematian itu mendekat... lima detik ke arahmu," ujarku serius.

"Aku pun merasakannya," ujar Edwin, "namun ketika kau menghitung... aku mendengar suara yang lembut... bukan suara kematian. Tapi suara malaikat. Aku merasa aura kematian itu melewatiku dan... aku juga tidak mengerti," ia menatapku bingung. Aku mengusap mataku dan memandang sekeliling. Dengan cepat aku berjalan ke luar. Mendadak aku tahu apayang terjadi. Di kamar 19 baru saja ada orang yang meninggal lagi. Orang itu baru saja mau dibawa ke ICU dengan ranjang dorong dan ranjang itu harus melewati kamar Edwin. Tepat di depan kamar Edwin, orang itu meninggal. Itu sebabnya aku merasakan aura kematian yang begitu kuat... Tak disangka, bukan Edwin yang dijemput melainkan ibu-ibu tersebut.

"Ada apa, Suster?" Tanya Edwin heran.

"Ternyata aura kematian menjemput orang lain, bukan kau," jawabku malu.

"Bukan salahmu," jawabnya sembari tersenyum.

"Tapi bagaimana kau bisa sadar dari komamu? Kata dokter... kau tidak dapat lagi diselamatkan?" tanyaku heran.

"Ah, entahlah, memangnya penting," ujarnya senang, "yang penting kau ada di sini... bersamaku. Mati kapanpun aku rela, asal kau di sampingku."

"Jangan ngomong sembarangan," tegurku, sambil tersipu malu.

Edwin dinyatakan sembuh oleh dokter. Setelah kemo, efeknya begitu kuat sehingga Edwin harus koma beberapa hari. Namun setelah ia sadar, dokter menyatakan bahwa saat-saat kritisnya telah lewat dan ia bisa sembuh dengan beberapa perawatan khusus. Kemo membuat rambut Edwin agak rontok, namun itu bukan masalah bagiku. Aku tetap menerimanya apa adanya. Kami berdua pun akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan.

DEATH ANGELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang