7

18K 936 17
                                    


7

Dengan langkah ragu, Vivian mengikuti Andros memasuki sebuah restoran mewah. Malam ini ia akan dikenalkan pada pria yang akan dijodohkan dengannya.

Vivian mendesis jengkel. Bagaimana mungkin pada usia dua puluh tiga tahun, ia sudah harus bersiap diri untuk bertunangan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal? Bahkan dalam mimpi pun ia tidak pernah berkhayal akan dijodohkan seperti ini.

“Santai aja, Vi. Jangan terlalu tegang begitu,” bisik Andros sambil meremas lembut tangan adiknya.

Vivian menoleh pada kakaknya, lalu tersenyum kaku. Andros bisa bicara begitu karena ia tidak berada di posisinya saat ini.

“Itu mereka,” bisik Andros sambil menunjuk pada beberapa orang yang duduk mengelilingi sebuah meja di tengah restoran.

Dada Vivian seketika berdebar. Ia memejamkan mata. Dalam hitungan detik, ia akan bertemu dengan pria yang akan dijodohkan dengannya. Bagaimanakah rupa pria itu?

Vivian mengikuti langkah Andros dengan kaki yang sudah selembut agar-agar. Andai saja ia tahu akan jadi begini, maka ia akan betah berlama-lama di negeri ginseng itu, jika perlu sekalian menikah dengan artis Korea.

“Selamat malam, semua,” sapa Andros sopan begitu tiba di dekat meja di mana keluarganya dan keluarga calon suami Vivian sudah berkumpul.

Vivian berdiri mematung di sisi kakaknya. Pria itu terlihat sangat tampan dengan mata cokelat terang yang bersinar dingin. Rambut cokelat gelapnya dengan rapi membingkai wajah tampannya yang memiliki rahang kukuh. Pria ini sangat memesona andai saja dia bisa sedikit tersenyum.

Semua menyambut sapaan Andros kecuali pria itu.

Pria muda yang menurut Vivian, hanya berusia be-berapa tahun di atasnya.

“Sini, Sayang. Kenalkan, ini calon mertuamu, Bapak dan Ibu Eduardo,” kata Ny. Henry dengan senyum manis. “Dan dia Samuel, calon suamimu.”

Vivian tersenyum kaku. Lalu beranjak mendekati dua orang setengah baya yang diperkenalkan sebagai calon mertuanya itu. Vivian mengulurkan tangan dengan sopan pada Eduardo, lalucipika-cipiki dengan Ny. Eduardo. Mereka menyambutnya dengan senyum lebar, membuat perut Vivian terasa melilit karena salah tingkah.

Setelah perkenalan singkat dengan kedua calon mertuanya, Vivian terdiam mematung. Samuel berdiri kaku dan mengulurkan tangan dengan setengah hati.

Dengan tangan yang terasa gemetar dan dingin, Vivian menyambut uluran tangan Samuel. Hanya beberapa detik, detik berikutnya mereka sama-sama melepasnya.

Wajah Vivian terasa memanas. Entah mengapa, ada getar yang tak bisa ia ungkapkan menyentuh hatinya saat tangan mereka bersentuhan. Getar yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

Vivian duduk di dekat kakaknya dengan kaki yang terasa lemas. Ia hanya bisa tersenyum kaku saat semua tersenyum ceria, kecuali Samuel, tentu saja. Pria tampan berambut cokelat gelap itu masih bersikap dingin padanya, seolah ialah penyebab semua perjodohan ini. Andai saja Samuel tahu, ia sendiri juga dipaksa oleh kedua orangtuanya.

***

Bersambung...

Evathink
28 juni 2019

Heart is Never Wrong [Tamat]Where stories live. Discover now