8

17.7K 897 10
                                    

8

“Jadi, bagaimana acara pertemuan dengan calon mempelaimu?” goda Freddy sambil menyulut rokoknya.

Ia dan Samuel sedang berdiri di balkon lantai dua, menikmati embusan angin malam yang bertiup sepoi-sepoi. Sejujurnya Freddy sangat penasaran dengan calon istri adiknya itu. Seperti apakah rupanya? Cantik dan kaya, itu sudah pasti. Tapi, apakah bisa menggetarkan hati?

Freddy mendesis menyesal. Harusnya ia bisa turut berkenalan dengan calon istri Samuel andai saja tadi ia tidak harus menemani Karin berbelanja.

Samuel tersenyum kecut, juga menyulut rokok dan mengisapnya dalam-dalam.

“Dia cantik,” gumam Samuel sambil mengembus asap rokoknya dan menatap langit malam yang bertabur bintang.

“Berita bagus,” sambut Freddy menggoda.

Samuel terdiam dan kembali mengisap rokoknya dalam-dalam.

“Kamu tidak senang?” tanya Freddy saat melihat wajah adiknya yang muram.

“Apakah Kakak senang saat dulu dijodohkan dengan Karin?” balas Samuel jengkel.

Freddy tergelak. Senang? Tentu saja tidak. Hanya saja ia tidak membebani dirinya seperti Samuel. Waktu itu ia hanya menerima dan berusaha menjalaninya dengan baik.

“Jadi, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Freddy

sambil kembali mengisap rokoknya.

“Apa lagi yang bisa kulakukan selain menerima? Minimal, dia tidak jelek,” kata Samuel datar.

Freddy kembali tergelak. Ia tahu pasti, adiknya pria dingin yang alergi pada wanita, dan penyebabnya tentu saja patah hati.

“Ya, jalani saja apa adanya. Walau tidak ada cinta, setidaknya dia masih bisa dibanggakan di depan umum,” kata Freddy berusaha mencairkan ketegangan adiknya.

Samuel tersenyum kecut. Sebenarnya ada getar halus di hatinya saat ia berjabat tangan dengan Vivian, sebuah getar yang telah empat tahun ini mati.

“Bukankah begitu, adikku?” tanya Freddy sambil masih tertawa kecil melihat kebisuan Samuel.

Samuel mengangguk ragu. Mungkin kakaknya benar. Walaupun tidak ada cinta, ralat, belum ada cinta, tapi Vivian cukup cantik untuk dipamerkan pada teman-temannya. Tidak memiliki pasangan pada usia dua puluh enam tahun dan diledeki teman-teman sebagai lajang abadi, tentu saja membuatnya gusar. Bukannya ia tidak laku, ia pria sukses yang telah memiliki perusahaan sendiri yang sedang naik daun. Banyak wanita menginginkannya karena ia tampan dan kaya. Hanya saja, luka empat tahun lalu masih membekas dan membuatnya menutup diri dari wanita manapun.

Sekarang, atas paksaan orangtuanya ia harus men-jalin sebuah hubungan. Hubungan yang ia tahu pasti akan berlabuh di mana. Tentu saja di pelaminan. Ia yakin orangtuanya sudah menyiapkan segalanya dengan sempurna. Tinggal menunggu waktu, dan semuanya akan terjadi.

***

Bersambung...

Evathink

30 juni 2019

Heart is Never Wrong [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang