4. Advice

10.7K 1.2K 66
                                    

     Klinik kesehatan sekolah terlihat masih sepi. Baguslah, pikir Digo. Ditatapnya nanar ubin koridor sembari melangkah gontai ke tempat tujuannya. Dari jarak dekat sudah terdengar jerit histeris seorang anak kecil di dalam klinik. Entah apa sebab atau penyakitnya.

     Digo memutuskan masuk dan mendapati dua perawat jaga beserta seorang dokter tengah bersusah payah menangani seorang bocah lelaki di atas ranjang periksa. Ada pula seorang wanita lain yang juga tampak sibuk menenangkan si anak. Dari seragam sekolahnya Digo bisa menebak jika pasien kecil tersebut adalah seorang siswa Taman Kanak-Kanak di Royal Calakia, tingkatan pendidikan kedua di yayasan sekolahnya.

     "Berantem lagi, Dek?"

     Digo melirik sedetik seorang perawat jaga yang menegurnya dan hanya melanjutkan langkah menuju wastafel. Diletakkannya ransel di atas sebuah kursi, lalu membilas wajahnya yang membiru dan beberapa bagian yang masih tersisa bekas darah.

     Digo sempat meringis. Lukanya cukup pedih terkena air. Disapunya cepat air dari wajahnya dengan telapak tangan agar pedihnya lekas mereda.

     "Nggak diobatin, lukanya?" tawar sang perawat setelah Digo masuk ke dalam satu bilik dan naik ke ranjang.

     "Nggak usah. Saya mau istirahat," katanya kemudian.

     Hening. Digo membaringkan badan dan mengangkat satu lengannya untuk menutupi kedua mata. Kendati begitu, suara tangisan bocah di luar tadinya masih saja mengaung-ngaung.

     "Udah, Sayang. Udah, nggak pa-pa.... Udah diobatin sama Ibu Dokter, ini.... Udah sembuh. Kan Awan-nya jagoan."

     Ternyata bocah itu bernama Awan. Mau tak mau, Digo harus mendengarkan dialog penuh drama di luar tirainya.

     "Mau sama Mami.... Mami manaaaa...?! Mau sama Mami ajaaa!"

"Maminya lagi ada kerjaan, Sayang. Nanti kita telepon lagi, oke. Mami nanti ke sini juga, kok." Entah yang ini suara siapa. Pastinya berbeda dari suara bujukan yang sebelumnya.

     "Telepon, Mami! Telepon, Mami! Telepon, Mami...!" rengek anak kecil itu lagi.

     "Ya udah, Bu, coba telepon aja lagi," anjur suara satu orang.

     "Sudah. Belum dijawab-jawab. Biasanya Ibu lagi meeting kalau begini."

     Mendengarnya, satu sudut bibir Digo melengkungkan senyum kecil penuh arti. Tiba-tiba saja ponselnya menderingkan bunyi panggilan. Dirabanya saku celana sembari membuka mata, melirik singkat nama kontak sang pemanggil yang tertera pada layar.

      Brama.

     "Apa?" tanya Digo langsung.

     "Heh, Babi, berantem lagi lo, ya? Di mana lo?" Brama memberondong.

     "Gue di klinik, nih. Males balik ke Apart. Mau ngadem pala gue mau pecah abis diomelin sama guru-guru."

     Ada tawa terbahak dari seberang. "Bonyok banget ya lu?"

UNTOUCHEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang