6. The Riot

9.8K 1.1K 92
                                    

     Apa ini? Apa yang baru saja terjadi? Mengapa dia harus melewatinya dengan susah payah? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu timbul bertubi-tubi pada benak Digo.

     "Haffh...." Murid lelaki itu keluar dari lift yang sudah kosong melompong sembari meluruhkan pundaknya ke tembok luar alat pengangkut tersebut. Ditariknya lagi napas panjang seraya memerhatikan punggung Sisi yang melangkah tergesa-gesa menjauh lift, tempat di mana drama terperangkap terjadi sore ini.

     Debaran itu masih terasa. Hangat, menusuk dan membuatnya berpeluh. Lalu ditatapnya ulang sosok yang membuatnya hampir mati berdiri, ternyata sudah menghilang tertelan bangunan. Digo melangkah gontai sembari mengatur detak yang masih bersisa. Hari ini untuk pertama kalinya remaja lelaki itu menemukan sensasi yang lain ketika berdekatan dengan makhluk yang paling dibencinya, yaitu wanita.

     Senyum kecut terulas di bibirnya, lalu terbayang lagi adegan menempel di dalam lift. Ah, gila! Tiba-tiba saja hati Digo rontok seperti daun kering yang terempaskan embusan angin. Sebegitu recehnya kah dirinya ini? Kedekatan dia dan gurunya selama jeda waktu beberapa menit tadi tiba-tiba saja menerbangkannya ke alam fana lain yang belum pernah dikenal sebelumnya. Dan lagi-lagi Digo bertanya..., apa ini?

     "WOI!"

     Digo tersentak kaget dan refleks memasang tubuh siaga merasakan tepukan keras seseorang pada punggung disertai seruan nyaring di dekat telinganya.

     "Anjing lo! Doyan banget bikin gue kaget!" Digo mengumpat sembari meninju pelan wajah Brama yang tengah terpingkal-pingkal melihat reaksinya.

     "Lagian lo tuh ngapain, coba, bengong sore-sore?" tanya Brama masih tertawa geli dan menyamai langkah Digo menuju parkiran motor siswa.

     "Gue nungguin lo, Anjing. Dari mana aja lo?!" seru Digo, tidak sepenuhnya jujur.

     "Gue tadi ke toilet dulu, lo-nya aja yang langsung ngeloyor pergi."

     Di sampingnya, Digo justru melemparkan tatapan jijik. "Di toilet lama amat. Lo cewek apa cowok sih?"

     "Cowoklah! Lo kata titit gua palsu?" tantang Brama tidak terima. Lantas diubahnya mimik wajahnya dengan tiba-tiba sambil menghalangi langkah Digo. "Tapi aslinya gue punya dua jenis kelamin, sih, Dig. Berubah-ubah tergantung waktu. Kalo siang matuk. Nah, kalo malem bisa membelah diri," katanya lagi sambil menjilat-jilati bibirnya sendiri dengan ekspresi menggoda.

    "Najis lo!" Digo hampir saja menendang selangkangan Brama jika sahabatnya itu tidak gesit mengamankannya dengan kedua tangan ditangkupkan.

    "Gila lo, Dig. Sampe beneran ketendang tadi, gua rela keliling pedalaman Afrika nyari santet biar barang lo nggak bisa idup-idup!" teriak Brama. Dan melihat Digo justru melangkah tak acuh ke motornya, cowok itu mendumel sendiri, "Kebayang nggak, lo, Arab? Gede, tapi nggak guna!"

     Digo lagi-lagi cuek dan sibuk memasang helm-nya, lantas menghidupkan mesin motor. Dari samping, Brama akhirnya mengikuti aktivitas sang sahabat.

    "Ke mana lo?!" dia bertanya dari atas motornya sendiri.

    "Nyari dukun buat normalin kelamin lo!"

    "Buset dah! Bisa nyablak juga lo, ya! Ha-ha-ha-ha-ha!" Brama geli sendiri. Keduanya lantas keluar berdampingan dari parkiran motor menuju gerbang sekolah. "Kita berdua lama-lama kayak orang musyrik, ye, Dig!"

    "Emang lo punya agama?" ledek Digo.

    "Iyalah! Gua salat ... Jum'at," tandas Brama sambil nyengir.

     "Terus abis itu lo ngamar ama cewek!" Digo melajukan motornya ke jalan raya.

     "Itu kan termasuk nikmat Allah, Dig! Woi, Kampret! Ngapain lu ngebut?!"

UNTOUCHEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang