23. Shop and The Stalker

12.7K 1.4K 334
                                    

A/n :

Kalo bisa, jangan ada yang komen next, lanjut atau yang bersifat menyuruh-nyuruh author-nya gitu, ya. Sakit hati bacanya. Hehe. 🥰

🍂

      Rinai hujan di luar masih terdengar, bahkan seirama dengan musik jazz yang mengalun lembut dari gitar serta suara merdu seorang penyanyi kafe wanita.

     "Siapa?" Suara Dimas tercekat, jelas menunjukkan keterkejutan serta rasa tidak terimanya akan penyataan Sisi sebelumnya. "Siapa yang udah ngerebut hati cewek gue?"

     Sisi mengangkat kepala. Dia menatapi sepasang iris yang tampak benar terluka. "Aku bener-bener minta maaf."

     "Aku nanya orangnya siapa!"

     Sisi menciut. "Enggak penting buat kamu tahu."

     "Nggak penting gimana?" tuntut Dimas dengan nada frustrasi. "Dia jadi orang ketiga dalam hubungan kita."

     Sisi berkedip. "Bukan kayak gitu, Dim. Dia nggak pernah jadi orang ketiga," sanggahnya cepat.

     "Terus, apa?" tuntut Dimas.

     Sisi menelan ludah, merasa serba salah. "Sebenarnya ... kami saling jatuh cinta dari sebelum kita berdua jadian."

    Dimas menggeleng tidak percaya. "Ternyata udah sejauh itu," gumamnya kemudian. Dia sungguh tidak menyangka bila hubungan asmara antara dirinya dan gadis ini ternyata berjalan di atas kebohongan belaka. "Kenapa baru jujur sekarang?"

       "Karena kemaren aku benci buat ngakuin ini ke diri sendiri, terutama kamu," jawab Sisi, jujur. "Tapi, makin ke sini aku nggak sanggup lagi buat ngebohongin perasaan aku, Dim. Aku udah belajar mencintai kamu, nerima kamu apa adanya, tapi tetep aja nggak bisa.... Aku mending pilih jujur biar nggak terus-terusan nyakitin kamu."

     Dimas kontan menutup wajah dengan dua telapak tangan beserta jari-jemarinya. Dia menunduk dan hampir lupa bernapas.

     "Dimas—"

     Laki-laki itu langsung mengangkat sebelah tangannya ke udara, sengaja mengisyaratkan kepada Sisi untuk berhenti bersuara. Hatinya berdarah, kalimat wanita itu layaknya mata pisau yang berulang-ulang menikam jantungnya.

     Hening. Keduanya sama-sama terdiam bahkan hingga pesanan tersaji. Namun, tak ada satu pun di antara mereka yang berminat menyentuh sajian tersebut. Saat Dimas sudah membuka wajah, Sisi menyerbunya dengan kalimat sarat penyelasan,

     "Maaf, Dim."

     Dimas masih bergeming tanpa melihatnya. Dia memandang permukaan meja dengan tatapan kosong. Sebelum Sisi lebih dulu pamit, dia beranjak pergi dari sana tanpa kata.

🍂

     Dari meja makan yang sangat ramai oleh ocehan para sahabatnya, Brama menatap selidik saat Digo memasuki kafetaria. Murid lelaki itu tampak mencomot satu cup mi instan dari rak pajangan sebelum menuju tempat air panas untuk menyeduhnya secara mandiri.

     Kontan, Brama mengembuskan napas lelah sembari meletakkan sendok beserta garpunya kembali ke dalam piring makan. Dia lalu bersedekap dengan raut wajah putus asa.

     "Kenapa lu?" tegur Egga setelah sekian lama. Ekspresi Brama cukup mengganggunya.

     "Ini, nih.... Ini. Ini yang bikin lo nggak pernah masuk ranking lima besar di kelas, ya ini," tuding Brama kepada Digo yang telah bergabung ke meja perkumpulan. Dia meletakkan gelas kemasan mi ke permukaan meja di seberang, lalu memundurkan satu kursi dan duduk seraya balas menatap sang sahabat dalam sekilas.

UNTOUCHEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang