28. The Deep Conversations

11.7K 1.1K 265
                                    

A/n [1]

Bab ini dikerjakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya serta tidak melalui proses edit-mengedit. Jadi dengan ini author memohon partisipasi pembaca untuk mengoreksi typo atau kalimat tidak efektif bila memang ada.

Sekian. Selamat membaca. ☺️

🍂

     Getar panggilan telepon mengusik Digo. Dia menjangkau ponsel dan melirik singkat layarnya.

     Sisi.

     Digo menyimpan cepat ponsel tersebut ke atas dasbor. Nanti saja. Ada satu hal darurat yang tengah dihadapinya, dan mengungkapkan kondisi terkini kepada wanita itu jelas bukan ide tepat. Sisi pasti salah paham, Sisi pasti khawatir, lalu semuanya menjadi kacau. Memikirkan hal tersebut sempat membuat Digo hilang kendali. Kemudian, dibantingnya kuat kemudi mobil ke tikungan kiri jalan, remaja itu amat geram kepada umpan hidup di depan yang terus bergerak gesit.

     Ada sebuah kendaraan beroda dua, motor ninja berwarna hitam yang keberadaannya terlihat oleh mata Digo, terdeteksi bahkan sejak kepulangannya bersama Sisi dari Royal Widi kurang-lebih satu jam lalu.

     "Mau lari ke mana lo, Anjing, hah?" Digo belum menyerah meski motor kejarannya melaju cepat dan tak memberi kesempatan. Di luar perkiraan tampaknya sang pengemudi lihai mencari pintasan, atau memang sudah mengenal baik medan.

     Sekali pun sering berkeliling kota menggunakan motornya, pemukiman kumuh yang satu ini belum pernah dikunjungi Digo bersama teman-temannya. Dengan begitu dia cukup kesulitan mencari arah dan memutuskan untuk menyalakan GPS mobil pada layar double din.

     Kendaraannya terus melaju. Digo cukup terbantu dengan aplikasi peta digital di mobil. "Dapet lo, kali ini, Setaaan!"

     Berhasil! Mobil Digo menyamai laju motor dan dibantingnya kembali setir ke arah kiri, bermaksud memotong jalan.

     Ciiiiiiitt!

     "BERENGSEK!!!" Digo membanting setir ke arah berlawanan seraya menginjak rem secara kuat. Tergetnya lepas dan dia hampir saja menabrak tembok bangunan perumahan warga. Digo kembali mengumpat kesal. Bukannya menangkap penguntit tersebut, dia justru hampir saja mencelakakan dirinya sendiri.

     Digo terdiam di balik kemudi. Sejujurnya, ia merasa jika keselamatannya mulai terancam. Ada banyak peristiwa serupa yang terjadi belakangan ini, yang mau tidak mau membuatnya khawatir. Orang-orang seperti mempermainkan nyawanya.

     Tidak masalah, Digo menyemangati diri sendiri. Waktunya di Indonesia sebentar lagi habis. Dia akan memulai kehidupan baru di benua lain dan berharap bisa menjalaninya dengan baik.

     Digo memundurkan mobil, kembali ke jalan utama. Dia sengaja tidak menyentuh gawainya agar fokus pada perjalanan dan lekas sampai di apartemen.

     Daun pintu baru saja terbuka. Digo mendapati Brama tengah berdiri di ruang tamu dengan kedua tangan bertolak pinggang, lantas mendekatinya dengan satu tangan terkepal.

     "Heh, Bangsat, lo—" Brama sudah membuka mulut untuk mengomel, tetapi tangan Digo refleks naik ke udara, menunda sejenak kemarahan sahabatnya itu karena telepon dari Sisi terus berdering.

     "Ya?"

     "Kenapa baru diangkat?"

      "Kan, tadi gue di jalan," jawab Digo langsung.

     Hening. Cukup lama.

      "Kenapa?" tanya Digo kemudian. Dia berhasil menangkap aura khawatir di sana.

UNTOUCHEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang