Biasa

104 7 0
                                    

Matahari belum terbit sepenuhnya. Udara segar masih terasa menyapu tengkuk belakangku. Jam dinding menunjuk angka 5:05 pagi. Aku bangun 15 menit lebih pagi dari biasanya. Tentu saja, karena hari ini adalah hari spesial.

Aku membuka kulkas mini di kamarku. Tingginya kurang lebih 90 cm dengan lebar 60 cm. Walaupun kecil, paling tidak masih berfungsi untuk mendinginkan minuman dan cemilan kecil. Tapi kali ini, aku tidak membuatnya mendinginkan minuman dan cemilan. Melainkan untuk kue cheesecake dengan sisi-sisi 40cm.

Aku mengeluarkannya perlahan. Aku sekali lagi melihat jam dinding di belakangku. Sudah jam 05:10. Tidak kusangkan hanya menyiapkan pisau plastik,minuman, dan kue saja sudah menghabiskan 5 menit waktu berhargaku.

Aku keluar dari kamar sambil membawa khe. Segera ku letakan kue itu di atas meja. Kupasang lilin kecil di tengahnya. Aku lupa membeli banyak, jadi aku hanya memakai seadanya saja. Kunyalakan pemantik dan mendekatkannya ke sumbu lilin. Tepat setelah lilin menyala, aku membawanya dan mengetuk pintu kamar Papa Mama.

*tok tok tok*

" Ma... Pa... "
Aku meninggikan suaraku sedikit. Namun belum ada balasan dari dalam.

" Ma... Pa... Ini Evan. Tolong buka pintunya. " Aku sekarang terdengar seperti saat umurku 7 tahun. Aku sering merengek malam-malam minta pindah ke kamar Mama dan Papa. Entahlah, aku memang anak yang penakut sejak dulu. Sama halnya dengan kekuatan di mata kananku ini.

" Ya... Tunggu... "
Akhirnya ada balasan dari Mama. Aku mendengar langkah mama semakin mendekat.

Wajahku kembali tersenyum dan dadaku terasa berdebar. Entahlah, berapa kali pun aku melakukan ini, aku selali merasa nervous.

" Ada apa Evan? "
Belum genap pertanyaannya, tepat setelah ia membuka pintu kamarnya setengah badan, aku langsung berseru senang.

" Selamat ulang tahun pernikahan Ma...! "

" Ya ampun, Evan! "
Mama terkejut melihat aku membawakan kue kesukaannya dengan lilin kecil menyala di tengahnya.

Sepertinya kerusuhan yang kami timbulkan membuat Papa terusik bangun. Papa tidak kalah kagetnya saat sadar bahwa aku sedang menyelamatinya hari ulang tahun penikahan mereka.

" Wah, Evan. Umur kami sudah lewat dari 50 dan kamu masih saja ingat hari penikahan kami. "
Puji ayah sambil beranjak bangun dari kasur. Ia menghampiri kami berdua yang sedang di bingkai pintu.

" Hahaha, ya memangnya kenapa mengingat hari spesial seperti ini? "
Aku bergurau.

" Sudah ayo kita tiup lilinnya di ruang tamu. "
Saran Mama sambil bersiap-siap mengambil handphone- nya. Sudah kebiasaan Mama memang untuk selalu mengambil moment-moment seperti ini.

" Pa, sini. Ayo tiup lilinnya bareng Mama. "
Papa juga tidak pernah berubah. Selalu terlihat malas-malasan tapi sebenarnya ia hanya malu. Yang benar saja, Papa sudah 66 tahun masih saja dengan kebiasaan buruknya. Hahaha.

" Satu... Dua... Tiga... Tiup. "

* Cekrek *

" Fuuhh.... "
Mama dan papa meniup bersamaan. Dan lilin kecil itu pun padam.

Hari yang sederhana seperti biasanya. Namun, hanya sekotak kue dengan lilin di atasnya dapat merubah segalanya.

Aku segera bersalaman dengan Mama dan Papa, mereka berdua juga saling berpelukan dan Papa mencium kening Mama.

Jam menunjukkan angka 06:00.

Waktu bahkan tidak akan memberikan ampun di hari yang mebahagiakan ini. Aku tetap dikejar waktu untuk segera bersiap-siap pergi ke kantor.

30 menit telah berlalu. Kita sekeluarga sudah siap di meja makan. Saling bergurau, mengobrol tentang rencana hari ini, dan masalah-masalah kecil yang melanda mama di rumah--seperti keran air yang bocor gas yang sudah hampir habis bahkan kebiasaan mama yang kerap termakan oleh iklan di TV.

Setelah 15 menit sarapan, kami berdua berpamitan oleh Mama dan segera menyalakn mobil masing-masing. Kantor ayah dan aku saling berlawanan arah. Jaraknya pun sangat jauh. Seperti dari ujung ke ujung.

" Dah Mama, Evan pergi dulu ya. "
Aku mencium tangan mama.

" Iya hati-hati ya. Jangan ngebut-ngebut nyetirnya. Ac-nya juga jangan terlalu besar. "
Mama terus menasehatiku dengan berbagai macam hal-hal yang menurutku itu lucu. Mama memang suka berlebihan.

Sama halnya dengan Papa. Mama juga ikut menasehati Papa saat mengemudi. Papa sering mendengarkan lagu terlalu keras, sehingga tidak dapat mendengar apabila ada sesuatu terjadi di luar. Hal kecil yang sebenarnya memang berbahaya bila dilakukan terus menerus. Tetapi Mama memang suka membesar-besarkan masalah.

Setelah berpamitan kami segera naik mobil masing-masing dan mengklakson pelan seolah memberi tanda kepada Mama. Ia tetap berdiri di teras sambil mengacungkan tangannya ke atas hingga mobil tidak terlihat lagi.

Aku di dalam mobil. Sekarang sendiri. Mendatap jalanan yanh masih sepi oleh kendaraan. Dalam perjalanan, sesekali aku melihat anak sekolahan dengan seragam mereka. Terkadang aku suka bernostalgia masa-masa sekolahku, tentu jika bekerja hanyalah awal dari sebuah hidup, maka sekolah adalah persiapan bekal hidup. Lalu, membangun keluarga barulah sebuah arti hidup.

Ku kira itulah tingkatan hidup kita. Sedangkan belajar, belajar adalah hidup. Tanpa belajar kita hanyalah sekedar bernafas. Saat-saat sendiri seperti inilah aku banyak berfikir tentang mencari pembenaran, ide-ide gila, dan rencanaku kedepan nanti. Orang bilang, kita harus belajar berjalan sebelum berlari, tapi aku lebih suka sebaliknya. Seperti 2 langkah di depan. Menyenangkan bukan?

Tiba-tiba lampu merah menyala. Aku segera memberhentikan mobil ku dan menyandarkan tengkukku di kursi mobil. 120 detik sangatlah lumayan. Aku tadinya berniat untuk mendengarkan lagu, tapi aku mengurungkannya. Aku sedang tidak mood untuk mendengarkan lagu apapun.

Sejenak aku memalingkan pandangan dari depan, aku melihat jendela kananku. Tidak ada yang menarik, pagi yang sama,pemandangan yang sama, dan kebisingan yang sama.

Namun, belum selesai aku menghela nafas, aku terkecoh oleh selembar kertas tertempel di tiang listrik.

" Apartemen Evergreen Exclusive. Miliki segera sebelum kehabisan! Telfon 08xxxxxxxxx. "

E

Entah apa yang sedang kupikirkan saat itu. Ide gila itu muncul lagi.

" Apartemen... Huh... " Gumamku tanpa sadar. Aku befikir untuk melepaskan diriku dari orang tua.

Hey, bukannya aku terlalu sibuk atau apapun. Aku hanya ingin tinggal dimana aku bisa sendiri, memikirkan banyak hal-hal menakjubkan yang bisa ku buat. Lagi pula, seorang putra dengan umur jalan 30thn--yang paling tidak seharusnya sudah menikah-- tidaklah aneh bukan jika ingin mempunyai tempat tinggal sendiri?

Sepertinya menyenangkan. Lagi pula, perawatannya harusnya tidak terlalu rumit seperti membeli rumah sendiri. Bulan sabit seolah-olah tergambar di ujung bibirku menghadap ke atas. Mungkin, aku akan mulai membicarakan hal ini pada orang tuaku. Terutama Mama. Tau sendiri lah...

Tidak terasa 2 menit sebentar lagi selesai. Aku segera bersiap-siap untuk menancap gas dan kembali fokus ke jalan.

Setelah ku kira ini hanyalah hari seperti biasanya, surga sepertinya berfikir yang lain dan seolah-olah sedang mengerjai ku.

Mata EvanWhere stories live. Discover now