Awal akhirnya skenario

91 3 0
                                    

" Kau jangan bermain-main denganku, Labayt. Ratumu sudah membagi-bagi nyawanya untuk kami. Apa kau berniat membunuh kami satu-persatu lalu menyatukan nyawa kami kembali? "
Aku melotot menatap mata elangnya. Bahkan yang beberapa hari sebelumnya aku merasa terintimidasi dengan tatapannya, kini tidak lagi. Saking aku sudah muak dengan cerita gila ini.

" Tidak. Tidak tuanku. Hamba tidak mempunyai kekuatan semacam itu. Lupakan membunuh Tuan satu-persatu, membuat lecet pada Tuan saja, hamba tidak kuasa. "
Ia menatap balik tanpa ekspresi. Tidak terpancar rasa takut,tekejut, atau apapun dalam matanya. Sedangkan aku, terlihat berusaha sekeras mungkin untuk membuat mataku tetap terbuka.

" Lalu? Apa yang kau rencanakan? Aku tau bahwa aku di dimensi yang berbeda dari kalian. Dan aku tau betul pastk setiap dimensi mempunyai ideologi yang berbeda. Tapi, satu hal yang aku tau itu adalah hal mutlak bahwa, adalah hal tabu bagi yang mati untuk kembali hidup. "
Mataku masih tak tergoyahkan darinya. Hal mutlak itu membuatku semakin yakin akan diriku.

" ...Ha...haha Sungguh... Sejak kapan kau-- "
Belum tuntas kalimatnya––aku pun juga tidak jelas dia bicara apa–– suara ketukan langkah kaki mengalihkan perhatianku ke depan kasir.

Tak perlu waktu lama untuk mataku fokus pada sosok itu. Seorang gadis dengan kepangan khasnya, dengan rok panjang berwarna krem dan atasan merah.

" Sarah! "
Refleksku tersentak kaget.

" Eh? Pak Evan? "
Dia tidak kalah bingungnya juga denganku.

Sungguh, dia selalu datang di waktu yang sangat penting. Entah itu buruk atau baik.

" Wow, ini yang kedua kalinya kita bertemu tanpa sengaja, loh. "
Guraunya sambil menyeruput latte.

" Haha, ya. Apa yang sedang kau lakukan? "
Aku tertawa canggung. Siapa yang tidak? Aku hampir saja tertangkap basah sedang mengobrol dengan kaca meja. Seorang diri.

" Oh, tidak. Hanya jalan-jalan saja. Aku baru selesai membeli buku pelajaran. Bapak sendiri? "
Aku mempersilahkannya duduk.

" O-oh... Hmm.. Hanya sedang bersantai. "

" Hmm... Tumben tidak pergi ke kantor. "

" Tumben? "
Tanyaku mengulang kata-katanya. Kenapa ia mengatakannya seolah ia sudah hafal.

" Ya... Biasanya kau pergi ke kantor, bukan? Kalau hari Rabu. "

" Oh ya? Kau memperhatikan sekali. "
Aku kembali menyeruput kopiku yang kali ini benar-benar sudah dingin.

Tak terdengar balasan dari Sarah, namun saat aku meliriknya, hampir saja aku tersedak. Pelipis halus nan putihnya itu tersapu dengan warna merah muda yang manis. Membuatnya segera menyeruput minumnya yang menimbulkan suara sedotan sembari mengalihkan pandangan ke tembok.

Terkadang, gadis ini suka bertingkaj sangat manis.

Astaga. Ya ampun. Apa yang baru saja ku katakan?! Tidak, tidak. Maksudku, ya, Sarah memang manis, tapi bukan berarti aku--

Mata EvanWhere stories live. Discover now