Senyum

71 6 0
                                    

Matahari tergantung tepat di atas kepala. Bahkan walaupun kepalaku sudah terhalang oleh atap mobil, aku masih bisa merasakan teriknya matahari dari sinarnya yang menimpa jalanan.

" Panas sekali ya Van, hari ini. "
Keluh Mama sambil memasang sunglasses nya.

" Ya namanya juga lagi musim kemarau, Ma. "
Aku berbelok ke arah parkiran dengan pelan-pelan. Sambil meniti perlahan mencari parkiran kosong.

" Ya memang sih, tapi ngerasa gak sih tiap hari makin-- eh itu tuh Van, ada parkiran. "
Sontak kalimat Mama segera terpotong oleh parkiran kosong yang agak jauh dari tempat kita.

" Nah... Untung Mama liat. "
Pujiku sambil melempar senyum jahil.

" Hmmm... Iya dong, Mama gitu, Van. "
Mama menepuk bahuku pelan seraya seperti malu dengan pujianku. Kalau Papa sedang bersama kita, pasti ia akan ikutan terkekeh melihat aksi Mama.

–––––––––––––––––––––––––––––

Aku mengambil trolley dan segera mendorongnya ke arah Mama.

" Kita mau beli apa dulu, Ma ? "
Tanyaku sambil melihat-lihat sekitar mall. Sangat ramai. Tentu saja, sedang hari libur soalnyam dari anak remaja, pasangan, keluarga, semuanya pergi menghabiskan Sabtu mereka untuk mampir ke sini.

" Kita ke tempat sayuran dulu. "
Perintah Mama sembari menatap secarik kertas kecil yang berisi daftar belanjaan di tangannya.

" Siap."
Balasku mantap.

Hanya butuh beberapa menit untuk kita sampai di tempat sayur-mayur. Warna hijau segar mengisi mata, dan butiran tetes air terlihat singgah di dedaunan sayur.

Aku mengikuti Mama ke mana pun ia pergi dari belakang. Ia terlihat sibuk dan cekatan saat memilih sayuran. Sesekali aku ikut memperhatikan bagaimana ia menyeleksi sayurannya. Tapi aku lebih suka berfikir setiap peluang bisnis yang ada dalam bidang ini. Entah memang ini kebiasaan para pebisnis seperti ku atau memang ini hanya kebiasaan isengku saja.

Pikiranku terusik saat melihat Mama mengambil 2 bungkus makanan yang sangat tidak aku sukai.

" Eh, Mah. Gak usah beli tahu banyak-banyak. "

" Ih, kenapa? Paling juga 10 hari sudah habis. "

" Tapi Evan 'kan gak suka, Mah. "

" Nah, itu tuh. Itu yang harus segera kamu biasa kan. Kamu belum cobain saja sudah bilang gak enak. "

" Apalagi kalau aku sudah cobain. Bisa trauma aku. "

" Kamu ini, pokoknya gak bisa. Mama bakal terus masak tahu buat kamu. Bahkan Mama bakal suruh Bibi buat masakin juga kalau Mama sedang tidak dirumah. Titik. "

Aku mengehela nafas sebagai akhir perdebatan. Atau memang Mama yang sudah mengakhirinya lebih dulu. Aku memang dari dulu tidak pernah mau mencoba tahu. Semuanya berawal ketika umutku 9 tahun. Entah kenapa aku menonton video bagaimana tahu dibuat, dan ketika aku menontonnya, disitu awal dari mimpi burukku. Membayangkan kaki-kaki itu menginjak-nginjak tahu agar menjadi halus, bisa membuatku pucat pasi sembari menahan mual. Apalagi memakannya, bisa pingsan aku. Tak peduli semaju apapun teknologi sekarang membuat tahu, pengalaman buruk itu akan selalu mengahantuiku.

Ketika sedang kesal-kesalnya aku mengingat kejadian mengerikan itu, ujung mataku menangkap sesosok yang familiar.

Mama segera berhenti sambil memilih wortel, begitu juga aku. Aku menatap lamat-lamat sosok itu hampir menyipitkan mataku.

Sosok perempuan menghadap kebelakang. Dengan kaos hitam bergaris-garis putih secara horizontal. Tubuhnya ramping tinggi. Ia terlihat sedang memilih susu. Rambut hitam legamnya yang ia kepang dengan French bride style, langsung membuatku mengenalinya.

Mata EvanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora