6

285 17 0
                                    

Pagi ini jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Udara yang hilir mudik sudah lama menusuk kulit Vian. Vian mengigil, ia merapatkan sweaternya lebih dalam. Tetapi, tetap saja keringat tetap mengalir di pelipisnya.

Entah, ini sudah keberapa kalinya Vian memasukkan bola basket kesayangannya kedalam ring dilapangan kecil pekarangan rumahnya.

Hari ini hari Minggu, aktifitas yang memang sangat wajib dilakukan oleh Vian. Yaitu, bermain basket.

Bahkan, hampir setiap hari Vian bermain basket dipagi hari.

Dihari Senin sampai Sabtu, Vian bermain basket dilapangan sekolahnya sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Dan dihari Minggu, Vian bermain basket pagi hari dipekarangan kecilnya.

"Lari yuk, Yan." Sahut Alfina, Kakak Vian yang sudah duduk dikursi samping pekarangan basket.

Vian tak menggubrisnya, ia tetap bermain basket dan lagi - lagi memasukkan basket untuk, mungkin ini sudah ke seratus kalinya.

"Viaaan" Teriak Alfina kesal, ucapannya diabaikan.

Vian memantulkan bola basketnya sembari berjalan menuju tempat duduk Alfina.

"Aal, kalau ada secret admirer yang terus kasih lo surat. Respon lo gimana?" Tanya Vian yang kini sudah duduk disamping Alfina dan masih me-dribble bola basketnya.

Alfina melotot, "Secret admirer? Cieee, Yan. Kalau gue sih, senenglah"

Vian berhenti me-dribble. Pandangannya lurus kedepan, mengingat hampir setiap hari secret admirernya terus mengirimkan surat.

"Tapi, gimana ya Aal? Gue tuh pengen respon tapi gue gatau kirimnya kesiapa. Kalau ngga direspon ntar dikira gue sombong. Bingung nih Aal" Vian melempar bola basketnya kesembarang arah.

"Kasian bola lo, itu kado dari gue awas aja kalau bocor." Alfina mendelik. "Eh, Yan tapi nih ya. Menurut gue, lo simpan aja surat lo dimana tempat si secret itu simpan surat buat lo. Tapi, lo harus duluan simpan suratnya."

"Hmm, taro surat ya? Gue harus dateng pagi - pagi dong besok?" Vian tampak berfikir.

Alfina membuang nafas besar, "Setiap hari juga lo berangkat pagi terus Yan."

"Iya sih, okedeh bagus juga saran lo." Vian terkekeh.

Alfina tersenyum, "Yaudah, lari yuk?"

"Lo lari gue naik sepeda ya." Vian memberikan tawaran.

"Gue aja yang naik sepeda. Lo yang lari." Alfina menaik turunkan alisnya.

Vian mendelik, "Kenapa kita ngga sama - sama naik sepeda aja?"

"Iyasih, yaudah ambil sepeda di garasi yuk" Alfina berjalan terlebih dahulu menuju garasi.

"Kakak yang otaknya suka kayak orang linglung. Kakak gue doang kayaknya ya?" Vian terkekeh.

"I'm can hear that!" Alfina berteriak dari depan.

"Sorry, my sista i'm just kidding." Vian berlari menyusul Alfina.

Paduan angin menerpa tubuh Alfina, rambut panjangnya yang dikuncir kuda terbang kesana kemari mengikuti arus angin.

Kakinya terus menerus mengkayuh pedal sepedanya. Angin yang menghembus sweaternya membuat sweaternya ikut menari berterbangan pula.

"Viaaaaaan! Tungguin gue." Teriak Alfina pada adiknya yang sudah mendahuluinya.

Tak lama setelah teriakkan membahana Alfina, Vian berhenti dari sepedanya dan duduk di pinggiran jalan trotoar.

"Gi..la ce..pet ba..nget lo Yan." Susul Alfina yang masih mengatur nafasnya lalu ikut duduk di trotoar samping Vian.

Vian tersenyum usil, "Iyalah, tenaga lo dikit dipake teriakkin gue mulu sih.

Childhood MemoriesWhere stories live. Discover now