36

144 17 0
                                    

Suara teriakan dari ruang kerja Alfin, membuat Alfina yang sedang memasak terkejut dan membuat jarinya ikut teriris hingga mengeluarkan darah segar yang mengalir.

Segera perempuan itu berlari menuju ruang kerja Alfin tanpa peduli darah pada jarinya yang menetes mengotori lantai.

"Sayang! Kamu kenapa?" Tanya Alfina diluar pintu.

Suara teriakan Alfin semakin menjadi. Alfina khawatir, namun nihil tak ada yang bisa dilakukannya karena pintu ruangan kerja Alfin dikunci dari dalam.

"Sayang! Kamu kenapa? Buka pintunya!" Alfina berteriak.

"Aaaaargh!" Alfin ikut berteriak.

Alfina menggedor pintu keras, membuat jarinya kesakitan dan ia terduduk lemah didepan pintu.

Air mata mengucur deras pada pipinya, tanpa Alfin tau Alfina kesakitan pada fisik dan jiwanya.

"Alfin! Buka pintunya." Teriak Alfina lemah.

Darah terus mengalir pada jarinya, namun tidak sebanyak sebelumnya. Karena tidak ada respon apapun dari Alfin, Alfina mengobati jarinya terlebih dahulu lalu ia akan kembali kesini.

"Duh kompor!" Alfina berlari menuju dapurnya lalu mematikan kompor yang menyala.

Setelah mengobati lukanya, Alfina kembali mengetuk pintu ruangan kerja Alfin.

"Fin, aku boleh masuk?" Tanya Alfina perlahan.

Tidak ada jawaban apapun, teriakan Alfin juga sudah hilang semenjak ia kembali dari dapur.

"Mungkin dia tidur," pikir Alfina positif.

Alfina masih terduduk lemah didepan pintu ruangan kerja Alfin.

"Kamu kenapa? Aku harus apa? Kalau kamu marah sama aku, aku minta maaf. Tapi tolong buka pintunya." Isak Alfina yang masih mencoba mengetuk pintu walau lemah.

Dari dalam tanpa Alfina tau, Alfin berada tepat dibalik pintu itu. Bersandar pada pintu, mereka bersama namun penghalang itu memisahkan mereka.

Alfina tidak salah, Alfin hanya kecewa pada dirinya sendiri. Karenanya, sampai saat ini Alfina tidak bisa mendapatkan keturunan.

Saat bekerja tadi, Alfin mendapatkan email dari Dokter Reno. Seharusnya, ia membacanya bersama Alfina. Namun, keputusan yang ia buat ada benarnya juga.

Alfin tidak mau melihat Alfina sedih karena isi surat itu. Isi surat yang membuat Alfin menderita.
Isi yang bahkan Alfin tidak percaya bahwa ia mengalaminya karena kejadian saat masa kecilnya di Bandung.

Saat ia tertabrak, dan itu menyebabkan dirinya tidak bisa memberikan keturunan. Alfin mandul. Dan, ia kecewa pada dirinya sendiri.

--------------
Langit sudah mulai gelap saat Alfina membuka matanya, ia tertidur didepan pintu ruangan kerja Alfin dengan sisa air mata diujung matanya.

Alfina berdiri, mengetuk kembali pintu yang mungkin tidak akan terbuka itu.

"Sayang, kamu lagi apa? Aku diluar ketiduran. Maaf ya. Kamu lapar? Aku bawain makanan ya." Alfina tersenyum lalu segera menuju dapur.

Bahkan ia lupa bahwa masakannya belum selesai tadi. Segera Alfina menyalakan kompor dan menyelesaikan kegiatan memasaknya.

Alfina mengetuk pintu ruangan kerja Alfin.

"Sayang, aku bawain makanan. Bisa kamu buka pintunya?"

Tidak ada jawaban apapun.

"Yaudah, aku simpan di meja ya." Ucap Alfina yang mulai menangis lagi.

"Kamu lagi apa didalam? Aku kangen." Isak Alfina tegar.

"Kalau aku salah, aku minta maaf. Aku bakalan jadi istri yang lebih baik dari sebelumnya. Bisa kamu keluar?" Alfina bertanya lagi.

"Yaudah, aku ada dikamar. Kalau kamu udah maafin aku, tolong keluar ya." Alfina tersenyum sedih lalu ia berlalu pada kamarnya.

Ide bermunculan pada pikiran Alfina begitu ia baru saja sampai pada kamarnya.

Segera ia mengambil kertas dan pulpen, baru saja ia akan berlalu dari kamar. Lampu LED pada handphonenya berkedip, menandakan bahwa ada pemberitahuan yang belum dibaca olehnya.

Karena menarik perhatiannya, Alfina mengambil handphone yang tergeletak diatas nakas lalu membukanya.

Ada email yang belum terbaca, saat Alfina membukanya hatinya bergetar. Rasanya hatinya ikut teriris walaupun itu terjadi pada suaminya.

"Alfin man...dul" Alfina berbicara tidak percaya.

Segera Alfina meletakkan handphonenya asal dan kembali pada pintu ruangan kerja Alfina.

"Sayang aku tau apa yang kamu alami. Tapi tolong buka pintunya." Tangis Alfina kembali pecah.

"Alfin, buka pintunya. Aku sayang kamu apa adanya, jika kamu berpikir aku kecewa. Tidak, aku bahkan tidak kecewa sama sekali. Jadi tolong buka." Alfina menggedor pintu.

"Buka fin, tolong buka." Alfina lemah, kembali ia duduk didepan pintu ruangan kerja Alfin.

Alfina menulis pada kertas yang dibawanya tadi.

Alfin sayang, aku tau apa yang kamu alami sekarang.
Maafin aku karena aku ingin memiliki keturunan.
Maafin aku yang selalu menonton acara tv tentang kandungan itu.
Maafin aku.

Aku sudah baca emailnya. Aku tidak sedih. Namun, aku sedih jika kamu seperti ini. Aku akan sayang kamu apapun yang terjadi. Jadi, tolong buka pintunya.

Alfin, aku bahagia bersamamu. Aku tidak terlalu menginginkan keturunan karena denganmu saja aku sudah bahagia. Aku sayang kamu. Jadi tolong buka pintu penghalang ini dan peluk aku.

Aku sayang kamu, maafin aku karena aku egois selama ini. Maafin aku.

Alfina menyeka air mata yang turun pada pipinya. Lalu menyusupkan kertas tadi pada celah kecil dibawah pintu untuk dibaca Alfin.

"Buka pintu ini.." Isak Alfina memohon.

---------
Haaaiii! Pie kabare? Heheh tuh cepet tuh cepet. Heheh. Dah ah bubaay!

Eit, bentar. Aku mau bilang makasih banyaaaaak buat kalian yang support aku. Semangatin aku makasih banyak.
Tanpa kalian cerita aku ngga bakalan kayak gini.

Aku sayang kalian.

Childhood MemoriesOnde histórias criam vida. Descubra agora