32

163 17 0
                                    

Langit sudah mulai meredup, dibawah cahaya sang rembulan kedua anak adam sedang duduk bersama, menertawakan hal lucu yang diucapkan salah satu diantaranya.

"Terus kamu ingat? Waktu Pak Hud bilang. 'Kalian kembar ya' serius deh saat itu juga saya ingin bilang. 'Iya' biar orang tua itu pusing karena nama kita yang hampir sama. Tapi kamu sudah terlebih dahulu bilang 'ngga' gagal deh saya jailin guru itu." Alfin mengerucutkan bibirnya.

Alfina tertawa, "Hahaha, habisnya saat itu saya juga masih bingung takut - takut salah orang, jadinya saya bilang ngga."

Alfin tersenyum.

Alfina tertawa.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima, tepat saat detik itu juga keduanya terdiam seperti diawal pertemuan.

"Kamu masih ingat kejadian malam itu?" Alfin bertanya.

Alfina menatap Alfin, wajahnya berubah menjadi serius. Berbeda dengan wajah tawanya beberapa menit yang lalu.

Mungkin inilah saatnya, saat keduanya untuk menyelesaikan sesuatu yang sempat terhentikkan hingga bertahun - tahun kemudian.

"Iya saya ingat." Alfina menunduk, takut jika air matanya akan keluar lagi mengingat malam itu.

"Saya ingin bahas itu tapi saya takut kamu perg-".

"Saya akan disini, mendengarkan penjelasan kamu yang tertunda itu." Alfina tersenyum.

Alfin menatap Alfin yakin, lalu mengangguk.

"Kamu sudah tau bahwa saya sudah ingat kamu semenjak kejadian di gedung belakang sekolah itu dan saya salah saya ngga berani bilang ke kamu kalau saya ingat semuanya. Saya hanya diam dan berlaku seolah semuanya baik - baik aja dan ngebuat kamu mengingat masa kecil kita sendirian. Maafin saya Al." Alfin menatap Alfina.

Alfina menatap Alfin, lalu mengangguk, "Lalu?"

"Lalu... kamu ngga marah sama saya?"
Alfin bertanya.

Alfina tersenyum, "Dahulu saya akan marah karena pikiran saya yang masih labil itu tetapi saya sadar saya harus mendengarkan penjelasan kamu terlebih dahulu sekarang."

"Saya saat itu pernah ada niatan buat kasih tau kamu, tetapi ada sesuatu yang ngebuat saya membatalkan rencana itu." Alfin menunduk.

"Karena Rio?" Tanya Alfina yang membuat Alfin kembali menatapnya.

Alfin mengangguk, "Saya rasa dia suka kamu dan itu ngebuat saya harus menjauhi kamu karena dia baik sama saya."

"Sudah?" Alfina bertanya lagi.

Alfin mengangguk.

"Jadi karena Rio?" Alfina kembali bertanya.

"Iya, karena saya takut Rio cemburu dengan kedekatan kembali saya dengan kamu." Alfin tersenyum.

Alfina mengangguk, "Jadi saya mau menjelaskan. Saya dengan Rio hanya sebatas teman. Memang pernah ada sesuatu di saat kami sekolah dasar dan itu hanya sampai situ tidak berlanjut hingga SMA. Kalau kamu berfikir Rio suka saya, dan kamu menjauhi saya karena Rio. Apa itu berarti kamu sedang berusaha berjuang? Untuk siapa kamu berjuang? Rio atau saya?"

Alfin terdiam, pandangannya terus menatap Alfina. "Saya berjuang untuk kamu Al."

"Saya? Kenapa karena saya?" Alfina bertanya lagi.

Alfin terus menatap Alfina, "Karena saya ingin kamu mendapatkan lelaki yang baik dan Riolah orangnya."

Keduanya terdiam.

"Tapi itu dahulu, tidak untuk saat ini."  Alfin berucap lagi.

Alfina menatap Alfin kebingungan, "Maksudnya?"

Alfin memegang lengan Alfina, "Kamu boleh benci saya setelah ini karena itu hak kamu. Tetapi saya ingin menjelaskan sesuatu yang seharusnya kamu dengar dari dahulu."

Alfina terdiam menatap Alfin.

"Jujur, ada suatu perasaan aneh yang menyelimuti saya semenjak saya mengingat kamu lagi. Seperti ada perasaan tidak ingin kehilangan dan itu saya alami setelah malam itu. Saya tidak ingin kehilangan kamu untuk kesekian kalinya lagi.

Cukuplah waktu bagi saya berfikir. Mengapa saya seperti ini? Dan sekarang saya tau apa jawabannya."

Alfin menatap Alfina, "Alfina, saya tidak ingin kamu pergi. Saya juga tidak ingin kamu bersama orang lain. Saya hanya ingin kamu bersama saya. Seperti masa kecil kita hanya ada saya dan kamu disana. Dan saya sangat berharap di masa depan nanti hanya ada saya, kamu dan buah hati yang akan kita jaga. Alfina, maukah kamu menerima saya untuk menjadi bagian terpenting dihidup kamu?"

Alfina menatap Alfin sedikit bingung. "Maksud kamu?"

"Saya ingin kamu menjadi pendamping hidup saya.  Saya ingin kamu menemani hari - hari saya. Saya ingin kamu yang ada disaat saya bahagia dan kamu jugalah yang ada disaat saya sedang merasakan luka.

Saya ingin kamu yang merawat, mendidik dan memberi kasih sayang pada anak - anak saya. Saya ingin kamu yang memberikan sarapan pada saya disetiap paginya. Saya ingin kita melihat anak kita tumbuh menjadi seorang dewasa dan melihat mereka tumbuh bersama pendampingnya nanti.

Dan tinggalah kita hanya berdua lagi. Dan saya ingin kamu yang merawat saya jika saya sudah jatuh sakit dan mulai menua. Saya ingin kamu Saya ingin kamu yang mendoakan saya jikalah saya yang akan pergi terlebih dahulu nanti. Saya hanya ingin kamu. Jadi tolong jawab pertanyaan saya yang satu ini."

Alfina meneteskan beberapa bulir pada pipinya.

"Maukah kamu menikah dengan saya?" Alfin bertanya serius.

Selang beberapa detik berlalu, hanya tatapan mata penuh air yang diberikan Alfina pada Alfin.

Alfina tersenyum, "Saya mau." Ucap perempuan itu pada akhirnya.

Alfin tersenyum. Pegangan erat pada lengan Alfina tadi berubah menjadi pelukan hangat pada tubuh Alfina.

"Saya janji, akan menjadi suami yang membahagiakan kamu nanti." Alfin tersenyum.

"Iya, saya tunggu janjimu itu." Alfina balas memeluk Alfin.

Didalam rinai malam, tanpa diketahui siapapun. Kedua manusia yang sudah diciptakan untuk bersama, walaupun berbagai rintangan memisahkan mereka tetap saja mereka akan selalu bersama. Jika Allah swt sudah memberikan takdir seperti itu siapa yang bisa merubahnya?

-------------
Hello! I'm comeback heheh. Tuh ya tuh update.

Childhood MemoriesWhere stories live. Discover now