CHAPTER 12: Hospital

278 3 0
                                    

"Hurry up, guys! Dia pasti udah nungguin kita!" Sheila terlihat paling gembira diantara yang lainnya.

Gadis itu sudah terlihat sangat bersemangat sejak mereka sampai.

"Iya, Sheil. Jangan loncat-loncat. Lo nggak sadar apa kaki lo udah diperban gitu?" nasihat Bryan melihat Sheila yang tidak bisa diam daritadi.

Sheila hanya memberikan cengiran khasnya. Di sampingnya, ada Gian yang memegang tangannya, mencegah gadis itu kehilangan keseimbangannya dan terjatuh.

"Ayo ambil bajunya dulu," ujar Gian diangguki yang lainnya, dia berjalan di depan berdampingan dengan Sheila, diikuti Bryan, lalu Marcus dan Avel.

"She looks so happy, isn't she?" gumam Marcus pelan, meminta pendapat Avel yang berjalan di sampingnya.

Avel menatap Sheila yang terus tersenyum sejak mereka berangkat tadi, kemudian mengangguk menanggapi pernyataan Marcus.

'Memang cuma dia yang bisa bikin Sheila sebahagia ini,' batin Avel sambil tersenyum miris.

***


Di ruangan serba hijau itu, seorang pemuda nampak tertidur dengan sangat tenang. Suara mesin pendeteksi jantung menggema di ruangan lenggang yang sepi itu.

Sheila menjadi orang pertama yang masuk ke dalam ruangan dan langsung menghampiri pemuda itu, "Hai! Tebak gue sama siapa hari ini?"

Sheila memecah keheningan dengan suaranya yang lembut, tangannya meraih tangan pemuda itu dan menggenggamnya hati-hati, seakan takut pemuda itu bisa terluka jika dia terlalu kuat menggenggamnya.

Gian dan yang lainnya ikut masuk ke dalam, dengan seragam steril khas ruangan ICU.

"See! Ada Avel juga! Lo pasti kangen banget kan sama dia?"

Mendengar ucapan Sheila, Avel berjalan mendekati ranjang tempat pemuda itu berbaring.

"Kita kesini buat jengukin, lo. Makanya lo harus sembuh, ya," suara Sheila mulai bergetar.

Hal ini yang menyebabkan Avel tidak pernah mau diajak kesini. Dia tidak mau melihat sahabatnya terbaring lemah seperti ini, terlebih lagi, dia sangat benci melihat Sheila menangis seperti orang putus asa, sedangkan tidak ada apapun yang bisa dia lakukan.

"Sheil,"

Seperti biasa, Marcus selalu menjadi orang pertama yang menenangkan Sheila. Dia berjalan mendekat dan memegang bahu Sheila, seolah memberi kekuatan.

"Lo harus sembuh," ujar Sheila mulai terisak, "Lo harus minta Gian ngurangin jadwalnya supaya nggak ikutan sakit kayak lo," lanjutnya sambil mengelus tangan pemuda di genggamannya itu.

Gian terkekeh pelan mendengar namanya disebutkan, "Lo juga harus ngingetin Marcus supaya nggak PHPin cewek lagi, makin parah aja dia."

Marcus yang namanya ikut dibawa-bawa langsung membalas, "Bryan tuh! Modusin cewek terus. Gue rasa dia perlu lo ajakin ke panti jompo lagi, deh."

"Kemanapun asal jangan ke situ lagi! Pipi gue sakit dicubitin oma-oma disana," protes Bryan cepat sambil memegangi pipinya, masih terbayang cubitan para nenek disana meskipun sudah lebih dari setahun mengalaminya.

Semua terkekeh pelan mendengar protes dari Bryan, termasuk Sheila yang masih meneteskan air matanya.

"Mending lo ajakin Avel biar lebih sering ngumpul bareng kita. Semenjak lo nggak ada, dia udah jarang banget ngumpul," lanjut Bryan.

Hening terjadi karena tidak ada yang merespon ucapan terakhir Bryan.

Avel membuka pembicaraan. "Lo harus sembuh," ujar Avel memberi jeda, "Supaya Sheila nggak nangis lagi." lanjutnya yang malah membuat Sheila semakin terisak.

MistakesNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ