Angan-angan.

166 24 0
                                    

Akhirnya baru bisa update :"
Maafkan daku, masuk di MIPA malah jadi stress soalnya banyak tugas gk jelas dll :(((
Waktu kesita deh.. Gomenn :"

==================================
Melarikan diri dari kenyataan memang perbuatan yang salah. Tetapi, bagaimana jika kenyataan lah yang menolak diri kita?

Selang waktu berlalu kira-kira 2 minggu lamanya, dirimu telah bolos dari sekolah tanpa keterangan. Jujur, telepon di rumahmu selalu berdering tiap harinya, panggilan dari sekolah yang tidak jemu-jemu menanyakan alasan kenapa kamu absen dalam kurun waktu yang cukup lama.

"Panggilan ke 44. Seharusnya aku mengajukan surat pemberhentian sekolah saja.."

Gumam dirimu seraya menatap kosong telepon rumahmu yang diam dan statis, jauh berbeda dari beberapa detik sebelumnya. Memang tragedi yang menimpa ayahmu tidak dapat terduga, kamu juga termasuk belum siap untuk menghadapi kehidupan ini seorang diri. Begitulah tragedi, manusia diajarkan untuk tetap bertahan melawan masalah apapun dan datang tidak terduga.

Kamu pun menghela napas singkat seraya memejamkan kedua matamu selama beberapa detik. Setelah itu, kamu membawa beberapa buket bunga yang harus diantarkan. Seperti biasa, kamu menaiki sepeda antik milik Ayahmu, menyongsong jalanan Kyoto seorang diri.

Sampailah kamu di depan sebuah rumah kecil sederhana. Tidak kamu ketahui bahwa rumah tersebut adalah tempat pemberhantian terakhir Ayahmu sebelum mengalami kecelakaan. Setelah turun dari sepeda, Kamu mengetuk pintu tua berwarna coklat beberapa kali.

"Halo..? Pesanan bunga di sini.."

"Tolong tunggu sebentar."

Salam yang kamu ucapkan pun disahut oleh suara berat nan serak seorang pria. Dengan sabar, kamu menunggu untuk dibukakan pintu. Dan benar saja, beberapa menit kemudian, pintu tua itu terbuka dan sosok seorang pria menyambutmu.

"Ah-? Bukan kurir biasanya-?"

"Ayahku sedang dirawat di rumah sakit, Tuan. Jadi, aku yang menggantikannya sekarang."

"Kau anaknya-?"

"Ya. Anak tunggal."

"Oh.."

Dirimu cukup dibuat bingung dengan respon aneh yang diberikan sang pria. Lantas, kamu pun memberikan buket bunga tersebut kepada dirinya. Sebuah senyuman tipis terukir di kedua bibirmu,

"Terima kasih, Tuan."

"Tidak masalah. Siapa namamu, omong-omong?"

"(F/N), (F/N) (L/N)."

Begitu kamu mengucapkan nama milikmu, kedua mata pria itu cukup terbelalak. Entah apakah namamu tidak asing untuknya ataupun hal lain?

"Tuan-?"

"Sampaikan permintaan maaf dari istri saya kepada Ayahmu. Bolehkah?"

"Istri anda?"

"Ya. Dia ibumu, (L/N)-chan."

Jantungmu berdegup kencang setelah mendengar pernyataan tersebut. Karma memang nyata, baru saja kamu mengagetkan sang pria dan sekaranglah giliranmu. Tidak ingin menambah masalah, Kamu menggeleng pelan kepalamu sebelum mengeluarkan kekehan kaku dan berkesan dipaksa,

"Aku harus pergi, Tuan. Tidak masalah kok, Ayahku baik-baik saja."

"Begitukah-?"

"Ya. Aku permisi dulu.."

Dengan cepat, kamu kembali menaiki sepedamu dan mengayuh pedal sepedamu, tidak ingin berlama-lama di sana. Kamu berusaha mengusir seluruh rasa gundah dan cemas, intinya, segala negative thinking. Cuaca pun ternyata merasakan hal yang sama, Matahari yang tadinya bersinar terang sekarang tertutup awan gelap dan perlahan, tetes demi tetes hujan jatuh membasahi bumi.

The Only Exception /赤司征十郎 x reader/Where stories live. Discover now